Kisah Nyata Inspiratif "Tsunami" - Juara 3 Lomba Menulis Kisah Inspiratif - Penerbit at-Tuqa
Tsunami
“Ana, kalau menerima putri antum, akan menzalimi yang lain,” Ustadz A beralasan, bola matanya meredup, mungkin ada rasa iba, beliau melanjutkan, “banyak orang tua sini mendaftarkan anaknya, kami tolak, benar-benar penuh. Jika diterima, malah tidak baik bagi anaknya, kurang terperhatikan, boleh jadi malah tidak maksimal."
Ustadz menatapku dari tempat ia “ndeprok” begitu saja di lantai serambi masjid. Kakinya menjulur keluar dari serambi. Sarungnya menjuntai apa adanya. Aku berdiri di depan serambi.
Sang Surya remang-remang menyiramkan cahaya kemerahan ke bumi kota M, Jawa Tengah yang berhawa sejuk. Ya, kami di ruang waktu, saat mulai bangkitnya hari. Setelah shalat Subuh.
Ustadz sejatinya akan bersepeda motor untuk satu keperluan, siap di atas sadel roda duanya. Ketika, melihat aku membidik langkah ke arahnya, serta-merta beliau turun lagi, langsung duduk di lantai serambi masjid, tak terlihat, ia seorang ustadz. Padahal, pernah belajar di majelis asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i - rahimahullahu ta’ala - , seorang ulama besar Ahlus Sunnah di zaman ini.
Akupun, bagai kayu kaso tersandarkan di gudang kayu. Tak ada kata, bercampur lelah tersisa perjalanan begitu jauh, menuju ponpes ini, kemarin.
“Begini saja, antum khan bawa mobil, kita coba ke ponpes S, siapa tahu masih ada tempat, dekat dari sini …,” ustadz memberi jalan keluar. Sementara, wajahku bagai lampu pijar lima watt.
“Jam berapa, kita berangkat, ustadz?” kalbuku langsung berbinar, pun wajahku, karena ada alternatif buat anakku sekolah di ponpes, melanjutkan hafalan Al-Qur’an, walaupun masih berharap di ponpes Ustadz A, karena ponpes ini dikenal ponpes hafalan Al-Qur’an yang bagus.
“Jam tujuh, Insya Allah …,” ustadz tersenyum lebar, memberi semangat.
Kilas balik sebentar, memang kami sekeluarga sedang mengantar anak untuk dipondokkan di ponpes ini, di kota M. Ponpes ini dianjurkan Ustadz J yang mengajar di kajian-kajian komunitas Ahlus Sunnah kota D di pinggiran ibukota, tempat kami bermukim. Pendidikan hafalan Al-Qur’an di komunitas itu masih kurang kualitasnya, baru tumbuh. Sehingga, untuk hafalan Al-Qur’an lebih lanjut, jika ingin berkualitas, hendaknya menyasar ponpes di kota M lah yang sudah dikenal bagus.
Maka, kami pun sekeluarga, berangkat melakukan perjalanan cukup jauh dari kota kami berada, kota D ke kota M sejauh satu hari perjalanan dengan mobil, bukanlah jarak yang dekat. Sedang anak kami, putri yang baru berumur 6,5 tahun. Dan, ketika zaman itu, kami belum mendapatkan arahan ulama, sebaiknya memondokkan anak itu setelah berusia 12 tahun ke atas.
“Ayoo, masuk ke mobil semua,” perintah ustadz kepada santri-santri. Ia kali ini, berpakaian jubah dan peci putih. Mungkin, pakaian harian berkegiatan, entah mengajar atau apalah.
Lho, tadi ustadz tak berkata akan mengajak para santri ikut, pagi ini ke Ponpes S. Ada apa?
Baiklah, tak mengapa, ikuti saja, mungkin sekaligus para santri diajak “refreshing” jalan-jalan. Adapun keluargaku, sementara ditinggal menunggu di ponpes ini dulu.
Ustadz pun duduk di depan, sekitar 7 santri duduk di belakang. Aku mengemudikan mobil. Aku melirik ke tangan ustadz, beliau membawa Al-Qur’an. Masya Allah, ustadz masih sempat membawanya dalam perjalanan singkat ke ponpes S. Mungkin, ustadz ingin sambil muraja’ah selagi selama perjalanan. Akupun menyalakan mesin mobil, lalu masuk gigi satu, gas.
Perjalanan kami, menyusuri jalan agak menanjak, dan berkelok-kelok.
“Yak, kamu sekarang baca!” ustadz seperti memerintah kepada seseorang, seraya agak memalingkan wajahnya ke arah tempat duduk belakang. Aku sedikit terhenyak, ustadz mau apa ya?
Sesaat, dari tempat duduk belakang terdengar lantunan Al-Qur’an dari pita suara salah satu santri. Ustadz membuka Al-Qur’an, mendengarkan dan memeriksa bacaan santri tersebut.
Subhanallah, aku baru tersadar, mengapa ustadz mengajak para santri ikut. Aku baru mengerti, sekaligus merasa bersalah, bercampur kagum kepada ustadz. Saat ini, mungkin waktunya ustadz mengajar santri memuraja’ah hafalannya. Aku, telah mengganggu kesibukan ustadz dan para santrinya. Ustadz begitu apresiasi terhadap waktu, masih sempat-sempatnya mengantar aku ke ponpes S. Aku ingat, Allah ta’ala telah bersumpah atas waktu. Pantas saja, ponpes ini dikenal bagus. Namun, sayang ponpes ini belum berkesempatan mendidik anakku, tak ada tempat lagi.
Selesai satu santri dengan hafalannya, lanjut santri berikutnya, dan seterusnya. Masya Allah!
Waktu melesat, kami telah di depan ponpes S. Ustadz turun denganku, para santri di mobil.
“Assalamu’alaikum!” Ustadz melontarkan salam. Kami telah berhadapan dengan pintu suatu rumah sederhana, dan kecil. Ini pondok pesantren? Bahkan, tak ada halaman sama sekali, pintu ini menghadap langsung ke trotoar jalan, tanpa jeda jarak dan ruang.
“Wa’alaikumsalam wa rahmatullah!” balasan salam dari dalam rumah. Serta-merta pintu terbuka. Sesosok berbadan agak besar, wajah cerah, berkulit putih, tersenyum lebar. Menyambut.
Begitu melihat tamunya adalah Ustadz A, “Ahlan wa sahlan, masya Allah Ustadz A, kok repot-repot datang ke sini …,” mempersilahkan duduk di kursi-kursi tamu serba sederhana, “tafadhdhal, duduk … duduk, ada apa ini sampai ke sini?” sosok ini jika berbicara selalu tersenyum sumringah. Aku ingat lagi, wejangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaknya senantiasa berwajah cerah.
“Begini Ustadz R, perkenalkan saudara kita ini, pak M, beliau ingin memasukkan putrinya ke pondok ana …,” ustadz menghela nafas sesaat, lalu melanjutkan, “qaddarullah penuh.” Lalu, ustadz berkata, “Kalau antum masih bisa menerima putri beliau ini, mungkin ada tempat?”
Ustadz R, menyimak penuh perhatian, akupun juga menunggu cemas-cemas harap.
Lalu, Ustadz R menatapku, seakan mengetahui harapanku begitu menggelembung.
Ustadz R bergeming, menghela nafas. Keheningan mengambang di langit-langit ruang tamu sederhana ini. 1 detik …, 2 detik …, 3 detik …, degup detak jantungku seolah suara jarum detik jam. Rahangku mengatup rapat, merasakan ada firasat sesuatu akan tak sesuai harapan.
Gestur wajah Ustadz R tadinya begitu ceria, mendadak meredup. Sesuatu akan terlontar dari mulutnya. Batal. Malah menghela nafas lagi. Seperti berusaha menguatkan batinnya, akhirnya keluar juga kata-katanya, “Ya Allah, afwan jiddan, tak bisa menerima putri pak M ini, penuh juga.”
Jelas sudah. Pyaaar! berkeping-keping kalbuku bagai kaca jendela terhempas bola sepak.
Singkat kata, kamipun kembali ke ponpes Ustadz A tanpa suatu hasil apapun. Susana hening di mobil. Belum jelas apa yang akan aku lakukan untuk anakku. Pulang? Ya, mungkin. Kembali tanpa hasil. Terbayang bagaimana tak semangatnya pulang ke kota D, dalam suasana tak nyaman di hati. Namun, semua ini takdir Allah ta’ala, pasti ada hikmah. Ini adalah terbaik untuk anakku.
Sesampainya di ponpes, terlihat ustadz seperti merasa sangat iba kepadaku, lalu ia berkata, “Bagaimana jika nanti selesai belajar mengajar, ana antar lagi untuk mencarikan ponpes yang masih ada kemungkinan bisa menerima putri antum?” Beliau memberi usulan lagi.
Masya Allah, ustadz pantang mundur, sedangkan aku hampir menyerah, pulang saja.
“Kemana, ustadz?” sisa-sisa semangatku berpijar kembali.
“Ya, nanti ana pikirkan lagi, mungkin ke kota N, di Jawa Timur atau ke kota S …,” ustadz memberikan alternatif. Ke kota lain? Berarti ini agak jauh jaraknya. Baiklah, tak mengapa.
Saat Sang Baskara mulai membumi perlahan ke horizon barat, kami berangkat. Kini, seluruh keluargaku ikut, anak perempuanku, adik lelakinya, dan ibunya, itu juga atas usulan ustadz.
Kami ke arah barat, tak berapa lama, hari semakin gulita, malampun membungkus kami.
Ustadz duduk di kursi depan, di perjalanan melihat kiri-kanan seperti ada sesuatu yang dicari.
Tiba-tiba, meminta menghentikan mobil, tangannya berisyarat, dan menjelaskan, “Ana mau telpon Ustadz H, yang di kota N. Apakah masih bisa menerima putri antum,” ustadz terhenti sejenak, lalu, “Jika, ke kota N, nanti ke kanan, sedang ke kota S, di Jawa Tengah belok kiri. Kita pastikan dulu di Ustadz H. Jika masih bisa, kita ke kanan, bila tidak langsung ke kiri ke kota S, tempat Ustadz F.”
Baiklah, aku menghentikan mesin beroda empat ini, tepat di depan suatu box telpon umum.
“Antum di mobil saja,” tegas ustadz. Aku menunggu di mobil, ustadz turun menuju box telepon umum. Zaman itu, belum ada HP Android, jika di jalan ingin menelpon, kami mencari telpon umum.
Suasana menegangkan kembali merasuk ke dalam kalbuku. Waktu serasa bergeliat lambat.
Aku melihat, dari balik kaca mobil. Nah, ustadz keluar dari box telpon umum. Semoga. Pintu mobil dibuka, beliau duduk di kursi depan kembali. Menghela nafas. Alamat tak baik.
“Penuh, enggak mungkin, ada satu dan lain hal, Ustadz H punya kesibukan lumayan padat dengan keluarganya,” akhirnya, ustadz berusaha setega-teganya mengungkapkan kepadaku.
Ya, qaddarullah, apa boleh buat. Pukulan kabar, kedua kalinya menohok kalbu. Namun, karena terlatih saat di Ustadz R, tak terlalu meresahkan kalbu. Ya, sudahlah, kini harapan ada di kota S.
Larutan malam semakin menggurita. Waktu telah melampaui waktu Isya’. Kami berencana mengakhirkan shalat Magrib dan Isya’ di kota S, lanjut terus menyusuri jalan naik-turun ke kota S.
Kini, malam benar-benar matang, ketika kami telah berada di depan pintu rumah Ustadz F. Ya, Allah apakah masih pantas kami bertamu, sedangkan malam telah semakin mengepung?
“Assalamu’alaikum,” ustadz melempar salam. Kami berdua diliputi benderangnya lampu tepat berada di atas kami, cahayanya mengurung kami di antara kelamnya malam.
“Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah …,” suara di balik pintu semakin jelas, seiring langkah semakin terdengar. Sekejap, pintu terkuak lebar. Di hadapan berdiri sesosok, tak terlalu tinggi, lebat jenggotnya, berkulit sawo matang khas suku Jawa, sedikit terperanjat.
“Masya Allah, Ustadz A…, masuk-masuk!” sambut orang itu, gigi-gigi putih mengintip saat mulut merekah lebar. Iapun memandangku, tersenyum juga, walaupun belum kenal.
Kamipun berlesehan di karpet ruang ini, tak ada kursi tamu. “Sebentar,” orang itu berisyarat. Lalu, orang itu, masuk ke dalam, keluar lagi membawakan minuman untuk kami, duduk bersama kami, lengkap dengan senyumnya yang seperti tadi.
Kemudian, kami saling bertanya kabar, memperkenalkan aku. Ternyata, orang itulah Ustadz F. Akhirnya ia mengetahui, aku beserta keluargaku. Ustadz F menyuruhku untuk keluargaku masuk melewati pintu belakang, bertemu istri beliau, Ustadzah L. Sungguh, Ustadz F tak bertanya sama sekali mengapa malam-malam kami bertamu. Biasa saja, malah sibuk agar tamunya nyaman, segera mengeluarkan minuman. Aku ingat, itu akhlaq Nabi Ibrahim dalam menyambut tamu.
Malam semakin menyasar tengah malam. Sementara, kami masih berbincang, dan kota S telah tenggelam dalam tidurnya. Tetapi, Ustadz F tetap mengeluarkan hidangan malam. Subhanallah!
Ustadz A pun, menyampaikan maksud kedatangan kami, “Begini, Ustadz, Pak M ini ingin memondokkan putrinya, tapi tempat ana penuh, tempat Ustadz R juga ndak bisa, dan ana sudah menghubungi Ustadz H, sepertinya beliau sibuk sekali …, jika antum berkenan, dan ada tempat?”
Aku cemas kembali, harapan terakhir. Aku melihat gestur wajah Ustadz F, tak ada perubahan, tetap dengan sinar senyumnya. Gelagat baik, tapi … apa betul? Jangan-jangan Ustadz F memang selalu berwajah cerah bagaimanapun keadaannya. Terlihat sejak awal, gembira saja menerima tamu tengah malam, menghidangkan minuman dan santap malam, seperti tak ada beban.
“Tafadhdhal, putri antum mau di sini, dengan senang hati ...,” Ustadz F menerima tanpa jeda apapun. Alhamdulillah. Ketegangan sejak dari ponpes Ustadz A, tuntas sudah.
Kemudian, Ustadz F menawarkan, “Ini sudah malam sekali, semua menginap di sini saja.”
Singkat kata, tiba-tiba Ustadz A menatapku, dan berkata, “Thayib, berarti masalah putri antum sudah beres ya, ana mau mohon diri pulang.”
Aku harus mengantar, “Siap ustadz, ana antar …”
“Oh ndak usah, biar ana pulang sendiri,” Ustadz A kelopak matanya melebar, serius.
“Lho, ndak pa pa, antum sudah antar kami sampai sini, masa gak kami antar pulang?” akupun merasa tak mungkin membiarkan Ustadz A pulang sendiri, aku lanjut, “Ini hampir tengah malam, ustadz menginap saja, besok ana antar pulang,” sambungku, ‘kan dipersilahkan Ustadz F menginap.
“Ndak, ndak pa pa, ana pulang , besok pagi-pagi mesti mengajar,” Ustadz A bersikukuh.
“Sudah malam ustadz, mana ada kendaraan?” aku berusaha mencegah.
“Di terminal banyak kok, begini saja, antar ana sampai terminal,” Ustadz A, beri jalan tengah.
Sebetulnya, berat hati meninggalkan Ustadz A di terminal, begitu saja, beliau telah memperjuangkan agar mendapatkan ponpes untuk anakku. Namun, apa boleh buat, kini kalau diantar ke kota M pun, aku terasa sangat capek dan mengantuk, seperti tak sanggup. Betul juga.
“Antum kalau antar ana, tak mungkin, antum terlihat letih.” Ustadz A memperhatikan wajahku.
Ya Allah, akhirnya aku antar Ustadz A sampai terminal bis kota S ke arah kota M. Berpisah.
Sekembalinya ke rumah Ustadz F, kami sekeluarga menginap di rumahnya, pikiran bisa istirahat tenang, misi berhasil, pun Ustadz F menenangkan, “Yakinlah meninggalkan putri antum di sini, jangan ragu, yakinlah kepada Allah ta’ala, semoga kami bisa mendidik hafalan Al-Qur’annya.”
Kini, kalbuku kokoh bagaikan dinding, berbahagia dan bersyukur kepada Allah ta’ala.
Keesokan hari, anakku serta-merta bergabung di kelas hafalan Al-Qur’an bersama anak-anak putri lainnya. Ia begitu bergembira, langsung bermain ceria dengan anak-anak tersebut, ketika waktu istirahat. Dia anak yang mudah berteman, bercampur, dan bergaul mengikuti irama mereka.
Aku dan istripun bahagia, memandang mereka. Gelagat akan mudah meninggalkan anakku di ponpes ini. Sehingga, kami bisa segera pulang ke rumah, yang berjarak hampir satu hari perjalanan.
Senja telah terserap hari, saatnya pamitan pulang. Keluargaku telah mohon diri kepada Ustadz F dan keluarganya, maka kini menemui anak yang sedang bermain dengan teman-temannya di halaman ponpes. Aku dan istriku menghampiri anak perempuanku itu, “Nak, kami mau pulang, ananda main di sini saja ya …”
“Besok abi, umi ke sini lagi khan …?” bola matanya sangat bening menatapku, di sana ada denting kilatan cahaya harapan cinta yang begitu jernih, seputih mutiara.
Astaghfirullah, tak tahukah ananda, betapa jauhnya rumah kita? Kalbuku yang telah kuat, bagai dinding itu, bergetar. Gempa. Bergoncang. Gemertak. Seolah-olah ada air bah melesak dinding itu dari baliknya. Dinding merekah, akan jebol! Aku bujuk kalbu, agar tak ambrol. Tidak. Bergeming. Beranjak. Memaksa gigi-gigi terlihat. Lambaian tangan. Bertahan. Patah-patah berlalu.
Akhirnya, aku, si kecil laki-laki, istriku, bersegera naik ke mobil, gas. Meluncur.
Gulita mulai merambah, kami telah sampai di kota K, masih di Jawa Tengah, masih tak terlalu jauh dari kota S. Si kecil laki-laki telah terlelap. Aku dan istriku lapar, akhirnya kami berhenti di kuliner kaki lima kota K. Wah, siomai, akupun pesan dua porsi. Lanjut, kami berdua sibuk dengan butiran-butiran siomai dan garpu di keremangan ruang dalam roda empat ini.
Siomai? Deg!
Tiba-tiba, terbayang di kelopak mataku seperti ada kamera, memutar ulang suatu kejadian. Anak perempuanku sedang makan siomai di rumah, begitu sukanya, sampai-sampai ketika siomai telah tandas, di piring ada bumbu kacang tersisa, ananda menjilat-jilati bumbu kacang siomai itu, sampai ludes. Tak tersisa apapun di sana. Piring bagaikan telah dicuci, mengkilap.
Astaghfirullah, dinding itu tak mampu bertahan lagi. Gempa. Ambrol, air bah bagaikan tsunami meluluh lantakkan apa saja yang ada di depannya. Gelombang air itu berubah menjadi bulir-bulir air, meluap, menggelinding begitu derasnya mengalir di pipiku, lalu tergantung sebentar di daguku, akhirnya terjun bebas ke dadaku, membasahi baju. Istrikupun, ikut terseret arus gelombang tsunami itu, mengalami hal yang sama. Tergugu. Air matanya lebih deras. Tak terhentikan.
Si kecil laki-laki, yang telah nyenyak di belakang, tak tahu apa-apa, yang sedang terjadi.
***
“Tuuut …, tuuut …, tuuut …,” panggilan gawai cerdas menjerit-jerit, minta di angkat. HP istriku.
Hari telah matang, di kota K, kami sekeluarga telah hijrah ke kota K di ujung selatan pulau Jawa, di lingkungan ponpes tahfizhul Qur’an M. Anak perempuan kami telah beranjak remaja.
“Assalamu’alaikum …,” suara wanita di seberang sana, nama Ustadzah L tertera di layar.
“Wa ‘alaikumussalam …, Ustadzah? Apa kabar? ” balas istriku, wajahnya sumringah.
Setelah, berbalasan tentang kabar, dan saling memuji Allah ta’ala, ustadzahpun bertanya, “Ananda putri anti, sudah selesai hafalan Al-Qur’annya ya?”
Istriku mematung. Waktu seakan-akan tersendat. Sedetik, dua detik.
Lalu, istriku tergagap menjawab, “Sudah, sudah… Ustadzah… baru tadi pagi selesai di pondok.”
Firasat Ustadzah L sangat kuat, beliaulah istri Ustadz F yang membimbing anak perempuanku, hafalan Al-Qur’an dari sejak kecil, di ponpes sederhana berjarak satu hari perjalanan dari rumah.
“Besok abi, umi ke sini lagi khan …?” selalu terngiang-ngiang, tak terlupakan sampai kapanpun.
***
Sumber: Buku "Remah-Remah Kisah Tarbiyah - Kumpulan 50 Kisah Nyata Terbaik Perjuangan Tarbiyah Islamiyah dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat - Hasil Lomba Menulis Kisah Inspiratif - Penerbit at-Tuqa
Gabung dalam percakapan