#44 Nanang Anak Stasiun UI
Contoh Feature Profil Tokoh kecil tak terkenal:
Nanang Anak Stasiun UI
Nanang berjalan gontai ke arahku. Pakaiannya kumal dan mukanya kotor berkeringat dan berdebu.
"Mbak Imel, bagi duit dong," pintanya sambil mengangsurkan kedua tangannya. Matanya menatapku penuh harap.
"Ah, ngga mau. Nanang kotor, sih. Cuci tangan dulu sana, entar saya kasi," jawabku sambil melambaikan tanganku.
"Berapa?"
"Cepek."
"Bener ya, Mbak? Sekarang aja deh ngasinya," tawar Nanang.
"Ah, ngga mau. Kalau Nanang cuci tangan, cuci muka, Mbak kasi," tolakku.
"Mbak Imel pelit," teriak Nanang sambil berlalu dengan mencibirkan bibirnya. Ia berlari menjauh menuju teman-temannya.
Itulah Nanang, salah satu anak kecil yang menghabiskan waktunya dari pagi sampai menjelang magrib di stasiun UI, Depok. Ia mulai beredar di stasiun ini sekitar tujuh bulan yang lalu. Bersama ketiga orang temannya, ia menghabiskan waktunya dengan bermain dan meminta uang kepada para mahasiswa yang menunggu kereta. Aku salut dengan ketahanan tubuhnya yang tetap sehat dan kuat, padahal ia makan sembarangan dan minum dari sisa minuman orang lain.
Aku teringat saat aku berkenalan dengan Nanang. Kala itu masih bulan Ramadhan, ia berjalan sempoyongan, mukanya pucat, lalu duduk di sebelahku.
"Kenapa kamu, kok lemes banget," kataku sambil memperhatikannya.
"Saya belum makan, Mbak."
"Emangnya ngga puasa?"
"Puasa, tapi tadi bangunnya kesiangan, jadinya ngga sahur," jawabnya sambil memilin-milin ujung bajunya.
"Minta duit dong, Mbak, buat beli makanan."
"Lho, kalau makan 'kan puasanya batal?"
"Entar saya puasa lagi abis makan."
Aku ingin tertawa mendengar jawabannya yang polos itu. Jawaban yang benar-benar keluar dari mulut seorang anak kecil yang hanya tahu 'kalau lapar makan, kalau haus minum' dan tidak peduli yang lain. Akhirnya aku pun membelikannya nasi bungkus. Aku pun berpikir 'toh ia belum baligh, belum wajib puasa'. Dan ia memakannya dengan lahap di hadapanku.
"Nama kamu siapa, sih?" tanyaku.
"Nanang. Kalo Mbak?"
"Imel. Kok kamu ngga sekolah, Nang?"
"Ngga punya duit. Dulu saya sekolah sampai kelas dua. Sekarang diajarin Mbak Ika di FISIP kalo malem."
"Kalo udah punya duit lagi, mau sekolah lagi, ngga Nang?"
"Ya mau dong, Mbak. 'Kan enak sekolah, bisa baca, bisa nulis."
"Kamu tinggal sama siapa di sini?"
"Ibu."
"Ibumu kerja, Nang?"
"Iya jadi tukang cuci."
"Kamu, sehari, bisa dapat berapa, sih, Nang?"
"Tergantung, Mbak. Bisa sepuluh ribu, bisa lebih. Tapi kalau puasa begini orang-orang cuma bilang 'maaf', ya, paling cuma lima ribuan. Tapi kadang ada yang baik dan soleh, malah bisa dua puluh ribuan. Kalo lagi dapet dikit ibu bisa marah, dia bilang saya maen mulu."
"Iya kali, kamu maen mulu sama yang laen."
"Ngga, Mbak, betul. Orang-orangnya aja yang pada pura-pura tidur."
"Ah, bisa aja kamu. Eh, uang yang kamu dapet dikumpulin, enggak?"
"Kumpulin dong. Udah ada lapan ratus ribu," jawabnya bangga.
"Wah, kaya dong, kamu. Terus, uangnya dikemanain?"
"Dipegang paman. Katanya mau dibeliin kambing di desa."
"Ntar lebaran pulang ke desa, Nang?"
"Iya, tapi sebentar aja, Mbak. Enakan juga di sini, bisa dapet duit. Makan gampang, minum tinggal minum," jawabnya sambil melap mulutnya.
"Makasih ya, Mbak," iapun berlalu mencari uang lagi.
Tahun 1999. Teman-teman Nanang semakin banyak dan sepertinya ia menjadi semacam pemimpin kelompoknya.
"Mbak ngga punya uang, Nang. Belum gajian. Adanya permen, mau?"
"Tapi teman-teman saya dikasi ya, Mbak?"
Mungkin sikapnya itu yang membuatnya dijadikan semacam pemimpin oleh teman-temannya. Ketika yang lain malu-malu menjawab sapaan dan tatapan orang, Nanang malah bercerita dengan lancar.
"Ngapain malu Mbak. Saya 'kan ngga buat salah, nggak maksa orang ngasi. Kalo ngga mau ngasi, ya udah, tinggalin aja. Cari yang laen aja," jawabnya santai, sesantai ia melompati rel kereta dari peron menuju Jakarta menyeberang ke peron menuju Bogor.
"Nang, masih mau sekolah, ngga?" tanyaku suatu ketika.
"Engga ah, Mbak. Enakan kayak begini. Maen terus, dapet duit terus. Kalo entar sekolah, saya engga dapet duit lagi dong. Lagian kalo sekolah, ngga bebas. Mesti nurutin kata guru."
"Kok gitu, sih, Nang. Dulu katanya mau," balasku.
Nanang cuma tertawa dan pergi meninggalkanku.
"Mbak Imel! Mbak! Nih, saya sudah cuci tangan. Mana cepek-nya?" tagih Nanang membuyarkan lamunanku.
"Mana? Kapan nyuci-nya?" selidikku sambil melihat tangannya.
"Tadi, di sana," jawabnya sambil menunjuk kamar mandi stasiun.
"Nih," kataku, memberikan uang logam seratus rupiah.
"Makasih, ya, Mbak," jawabnya, dan ia segera berlalu dari hadapanku.
***
Sumber: Menulis Secara Populer - Ismail Marahimim, Model 44: PROFIL V, hal. 325 oleh Imelda Tirta, mahasiswi FSUI, pengikut mata kuliah Penulisan Populer, 1998/1999, dengan sedikit suntingan.
Inilah Feature Profil "orang kecil" yang tidak terkenal. Cerita seperti ini biasanya berkaitan dengan musim, kalender atau peristiwa tertentu atau topical issues,
yaitu hal-hal yang sedang hangat dibicarakan orang pada waktu tertentu.
Misalkan, p
- ada musim durian kita akan menemukan Feature-feature Profil penjual-penjual durian di berbagai media.
- Hal yang sama bisa muncul Feature Profil tukang becak, atau mantan tukang beca ketika terjadi pelarangan beca di ibukota Jakarta.
- Atau bisa juga Feature Profil seorang santri suatu ponpes yang diterima lolos seleksi menjadi mahasiswa Universitas Islam Madinah, di Saudi Arabia.
Seorang penulis Feature yang jeli, akan selalu memperhatikan musim dan peristiwa-petistiwa penting. Selalu ada "orang kecil yang tidak terkenal" berperan di sana. Dan, ini biasanya luput bagi kebanyakan orang.
Cara penulisan Feature Profil si Nanang ini perlu diperhatikan sedikit. "Wawancara terakhir" yang dilakukan penulis terhadap Nanang, digunakan sebagai "awal perkenalan" penulis dengan sang tokoh Nanang. Lalu, ada beberapa "wawancara kilas balik" (flash back), dan sebagai Penutup, kembali ke "wawancara terakhir" tadi.
Cara penulisan Feature Profil si Nanang ini perlu diperhatikan sedikit. "Wawancara terakhir" yang dilakukan penulis terhadap Nanang, digunakan sebagai "awal perkenalan" penulis dengan sang tokoh Nanang. Lalu, ada beberapa "wawancara kilas balik" (flash back), dan sebagai Penutup, kembali ke "wawancara terakhir" tadi.
Jelas,
muncul kepribadian Nanang dan ada sesuatu yang baru yang kita dapat sebagai pelajaran, yang merupakan tuntutan "segi-segi lain dan baru" untuk sebuah Feature Profil.
Persiapan yang biasa diperlukan sebelum wawancara, tak dihadirkan di sini. Karena memang tak ada. Dan, penulis spontan saja melakukan wawancaranya. Namun, penulis cukup jeli untuk mengingat-ingat semua percakapan dalam pertemuannya dengan Nanang.
Namun, hal yang demikian janganlah dibiasakan. Selalulah membuat persiapan sebelum melakukan wawancara untuk menuliskan sebuah Feature Profil.
Ada beberapa permasalahan sosial yang tersirat di Feature Profil tersebut. Memang tidak secara jelas dan eksplisit ditulis dalam bentuk kalimat-kalimat Opini. Hal seperti ini, memang terkadang penulis sengaja. Ia mengajak pembaca yang cerdas untuk berpikir, ada apa dibalik cerita tersebut.
***
Mau belajar menulis Feature - Berkesan Dibaca via daring (online), ikuti tahapannya, TAP /KETUK > di bawah ini:
Mau Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya, mudah, sedikit demi sedikit, dan saban hari, TAP /KETUK > di bawah ini:
Atau, hanya mau baca postingan-postingan Belajar dan Menulis? Tanpa berdialog, komentar dan ngobrol. Ikuti /follow saja Channelnya TAP /KETUK > di bawah ini:
Gabung dalam percakapan