#37 Lanjutan Senjata-senjata dalam membuat Feature: Kutipan atau Dialog
Kutipan langsung merupakan salah satu senjata penulisan Feature yang paling efektif. Bagaimanapun piawainya seorang penulis, ia perlu variasi trik untuk menghilangkan gaya yang monoton.
Penulis Novel Nonfiksi (Non-fiction novel) memakai dialog untuk menghentikan kejemuan. Setelah dengan cermat menemukan karakterisasi pada tokoh, penulis berusaha mencari momen tokohnya "bicara" dalam gaya yang khas, dan tentu cocok dengan pribadi dan latar belakang tokoh itu sendiri.
Pemakaian kutipan baik dialog maupun monolog (bicara dengan batinnya) memberikan selingan dan variasi dalam cerita, dan memberikan wawasan tentang sosok sang tokoh.
Meskipun nada suara tidak bisa dicatat dengan baik dalam tulisan, penemuan kata dan gaya bisa dipakai untuk menunjukkan kepribadian si subjek. Gaya kutipan yang ada pada cerita akan membuat pembaca seakan-akan "mendengar" sendiri ucapan sang subjek atau tokoh yang berkata dalam kutipan itu.
Bagi penulis Feature, pemakaian kutipan yang terampil merupakan kekuatan vital untuk menjaga agar pembaca tidak berpindah atau menghentikan pembacaannya setelah membaca separuh cerita, karena merasa gaya yang itu-itu juga yang membosankan.
Cara membuat Kutipan atau Dialog yang Deskriptif
Deskripsi tambahan
Kita ambil sebuah contoh kutipan:
✓ "Kadang-kadang, saya merasa ingin mengundurkan diri," kata Wali Kota.
Kutipan yang sudah agak rutin ini memberikan informasi yang menarik kepada pembaca, dan mungkin secercah wawasan tentang watak sang wali kota. Meski begitu, kata-katanya datar saja dan tidak mencolok.
Namun, dalam bentuk kutipan langsung, lebih terasa keaslian kutipan itu. Kutipan ini juga menghilangkan kebosanan. Dengan menambah sedikit saja, efeknya semakin besar.
✓ "Kadang-kadang, saya merasa ingin mengundurkan diri," kata Wali Kota, dengan nada marah.
Dengan tambahan sedikit Deskripsi ini, unsur nada suara jadi terasa. Telinga bagian dalam pembaca seakan-akan tergetar karena "mendengar" si penjabat berteriak dengan murka. Dan, tentu saja memang demikianlah Fakta Sang Walikota ketika berkata, bukan kita tambah-tambah secara fiktif.
Memang kutipan mempunyai beberapa keuntungan. Tapi penulis harus sangat peka terhadap pelbagai pertimbangan etis. Kutipan bukan hanya menulis apa yang dikatakan si subjek, tapi harus disajikan dalam konteks yang sesuai.
Bila, misalnya, dalam wawancara, telepon berdering dan ada seseorang yang memanasi wali kota itu, maka penulis wajib memperjelas kejadian itu. Terutama bila wali kota itu biasanya menyatakan rasa puasnya terhadap jabatannya.
✓ "Kadang-kadang saya merasa ingin mengundurkan diri," kata Wali Kota dengan marah, sambil membanting gagang telepon. Seorang warga kota telah mengutuk Wali Kota lewat telepon, yang menyebabkan wajah Wali Kota merah padam. Itu satu-satunya komentar yang tidak enak yang diucapkannya tentang pekerjaannya.
Off the Record
Masih ada satu kewajiban bagi penulis: pertimbangan etis terhadap catatan off the record. Misalnya dalam wawancara itu Wali Kota mengungkapkan rasa tidak senangnya pada seorang anggota dewan.
"Harya Baskoro adalah anggota dewan yang paling tidak bermutu dan paling malas, yang pernah saya temui selama saya bertugas," katanya. Segera setelah sadar bahwa komentarnya itu akan menimbulkan kesulitan, Wali Kota segera menambahkan, "tapi ini off the record ya ..."
Jika seorang penulis menerima informasi off the record secara etika jurnalistik, ia tidak boleh memuatnya. Namun, jangan bertindak bolak balik bertanya kepada narasumber, apakah ucapannya barusan off the record atau tidak! Karena boleh jadi, pertanyaan penulis yang seperti itu membuat ketakutan narasumber, sehingga fakta yang seharusnya tak mengapa di-publish, akhirnya narasumber melarangnya untuk dimuat.
Sebetulnya, bila ada pernyataan yang memang tak pantas dimuat, walaupun narasumber tak melarang menuliskannya, kita sebagai insan jurnalistik yang mengerti adab-adab Islam, mampu mempertimbangkannya untuk tidak dimuat. Mungkin saja, akan menimbulkan gejolak keresahan masyarakat. Sehingga ketentraman publik terganggu, yang bisa berakibat merembet pada kegoncangan sosial yang lebih besar lagi.
Merapikan Tata Bahasa
Masih ada persoalan lain dalam pengutipan, yaitu soal "merapikan" kutipan. Kutipan pada dasarnya adalah laporan tertulis mengenai apa yang diucapkan subjek. Namun, kebanyakan penulis "merapikan" kesalahan tata bahasa karena kesantunan yang lumrah saja.
Hanya sedikit subjek yang bisa dengan mutlak memakai tata bahasa yang baik dalam percakapan lisan. Orang biasa berbicara dengan bahasa percakapan secara informal, bahkan juga mereka yang sangat terdidik. Seorang pejabat mungkin terlalu banyak menggunakan kata "dari pada ...", atau seorang tokoh memakai kata "gimana", "apa namanya", "eeee ..." dan seterusnya.
Sepanjang kesalahan tata bahasa itu tidak menimbulkan akibat langsung terhadap cerita, penulis harus memperbaiki kesalahan itu. Namun, tidak boleh mengubah pesan pokok dalam pemilihan kata-katanya.
Perbaikan ini menghindarkan si subjek dari rasa malu. Kesalahan dalam percakapan sehari-hari bisa diterima, tapi bila telah ditulis sangat memalukan. Subjek biasanya kelak lebih bisa kooperatif dengan penulis, bila ia sadar akan "jasa" sang penulis memperbaiki tata bahasanya.
Sayangnya, hanya sedikit orang yang sadar bahwa kutipan mereka sudah dirapikan penulis atau editor.
Dalam beberapa hal, penulis Feature bisa membiarkan kutipan sebagaimana aslinya. Misalnya, ada tokoh yang untuk menghimbau rakyat, dengan sengaja memakai kata-kata yang "kampungan". Dan, ternyata kata-kata tersebut lebih mengena dan lebih terasa dekat dengan rakyat. Ia pasti kurang suka bila si penulis kemudian membuatnya seperti seorang guru tata bahasa, sehingga malahan terkesan formal.
Membuat perbaikan atau tidak, tergantung kepada penulis itu sendiri. Selama keputusannya atas dasar tuntutan profesional, dan bukan rasa senang atau tidak senang secara pribadi, maka tidak ada orang yang mempersoalkan keputusan itu.
Hanya sedikit subjek yang bisa dengan mutlak memakai tata bahasa yang baik dalam percakapan lisan. Orang biasa berbicara dengan bahasa percakapan secara informal, bahkan juga mereka yang sangat terdidik. Seorang pejabat mungkin terlalu banyak menggunakan kata "dari pada ...", atau seorang tokoh memakai kata "gimana", "apa namanya", "eeee ..." dan seterusnya.
Sepanjang kesalahan tata bahasa itu tidak menimbulkan akibat langsung terhadap cerita, penulis harus memperbaiki kesalahan itu. Namun, tidak boleh mengubah pesan pokok dalam pemilihan kata-katanya.
Perbaikan ini menghindarkan si subjek dari rasa malu. Kesalahan dalam percakapan sehari-hari bisa diterima, tapi bila telah ditulis sangat memalukan. Subjek biasanya kelak lebih bisa kooperatif dengan penulis, bila ia sadar akan "jasa" sang penulis memperbaiki tata bahasanya.
Sayangnya, hanya sedikit orang yang sadar bahwa kutipan mereka sudah dirapikan penulis atau editor.
Dalam beberapa hal, penulis Feature bisa membiarkan kutipan sebagaimana aslinya. Misalnya, ada tokoh yang untuk menghimbau rakyat, dengan sengaja memakai kata-kata yang "kampungan". Dan, ternyata kata-kata tersebut lebih mengena dan lebih terasa dekat dengan rakyat. Ia pasti kurang suka bila si penulis kemudian membuatnya seperti seorang guru tata bahasa, sehingga malahan terkesan formal.
Membuat perbaikan atau tidak, tergantung kepada penulis itu sendiri. Selama keputusannya atas dasar tuntutan profesional, dan bukan rasa senang atau tidak senang secara pribadi, maka tidak ada orang yang mempersoalkan keputusan itu.
Over quote dan Under quote
Banyak problem teknis dalam menulis kutipan. Kebanyakan penulis muda atau pemula cenderung terlalu banyak mengutip (over quote), atau terlalu sedikit mengutip (under quote).
Dalam over quoting, penulis hanya sekadar menyusun kutipan, seraya kadang-kadang menyisipkan kata sambung. Cara pengutipan seperti ini sering tidak bisa diterima. Sedikit orang yang menggunakan kata-kata secara ringkas dalam percakapan.
Sebagai penulis, ia harus mampu menyampaikan pesan itu lebih jelas dan ringkas, bisa dengan cara membuatnya menjadi kalimat kutipan tak langsung. Seperti, "Ia berkata, bahwa ..." Yaitu memakai kata tugas "bahwa", tanpa adanya tanda petik pada perkataan subjek.
Over quoting juga menghancurkan salah satu tujuan baik dalam pengutipan, yaitu menghapuskan kejemuan karena gaya yang sama. Dengan over quoting, penulis hanya mengganti gaya monoton dirinya dengan gaya monoton subjek.
Under quoting juga merusakkan. Banyak penulis baru yang tidak yakin akan kemampuannya mengambil kutipan, sehingga ia selalu membuat kutipan tidak langsung. Cara ini juga menghilangkan tujuan baik pengutipan.
Dalam over quoting, penulis hanya sekadar menyusun kutipan, seraya kadang-kadang menyisipkan kata sambung. Cara pengutipan seperti ini sering tidak bisa diterima. Sedikit orang yang menggunakan kata-kata secara ringkas dalam percakapan.
Sebagai penulis, ia harus mampu menyampaikan pesan itu lebih jelas dan ringkas, bisa dengan cara membuatnya menjadi kalimat kutipan tak langsung. Seperti, "Ia berkata, bahwa ..." Yaitu memakai kata tugas "bahwa", tanpa adanya tanda petik pada perkataan subjek.
Over quoting juga menghancurkan salah satu tujuan baik dalam pengutipan, yaitu menghapuskan kejemuan karena gaya yang sama. Dengan over quoting, penulis hanya mengganti gaya monoton dirinya dengan gaya monoton subjek.
Under quoting juga merusakkan. Banyak penulis baru yang tidak yakin akan kemampuannya mengambil kutipan, sehingga ia selalu membuat kutipan tidak langsung. Cara ini juga menghilangkan tujuan baik pengutipan.
Pedoman pengutipan
Untuk menentukan apakah penulis akan mengutip langsung atau tidak, inilah pedomannya :1. Apakah kata-kata dalam kutipan itu tidak berantakan, ringkas, dan jelas?
- Bila jawabannya: tidak, penulis harus memakai kalimat tidak langsung.
2. Apakah kutipan langsung itu akan memperkuat efek, memperjelas siapa yang bicara, atau menambah kesan sebagai pendapat dari orang yang memang layak dikutip?
- Bila jawabannya: ya, pakailah kalimat kutipan langsung.
3. Apakah cerita yang mengawalinya cenderung under quote?
- Bila jawabannya: ya, pakailah kutipan langsung. Bila over quote, pakailah bentuk kutipan tidak langsung.
Kadang-kadang pilihannya malah lebih sulit. Yakni bila hanya sedikit bagian kutipan yang dapat diangkat, yakni bagian kecil yang sangat bagus. Bila demikian halnya,
- baiklah kita memakai bentuk kutipan tidak langsung untuk menuliskan sebagian besar ucapan si subjek,
- dan baru kita pakai tanda kutipan langsung pada bagian yang menarik perhatian itu.
Contoh:
Wali Kota mengutuk Komisi Pelayanan Masyarakat yang cara kerjanya, "Bebal dan konyol," dalam menjalankan petunjuk-petunjuk DPRD.
Kadang-kadang kutipan yang bagus bisa lemah karena ditulis terlalu panjang.
Contoh:
"Karena sikap warga yang tidak kooperatif, selalu mengganggu kami dengan keluhan-keluhan kecil-kecil, seperti gonggongan anjing, radio stereo yang berisik, anak-anak yang ribut, perkelahian pribadi, kucing hilang, bau yang tidak enak dari pabrik, saya mengundurkan diri," kata Ketua RT itu.
Kutipan Pak Ketua RT itu terlalu berkepanjangan, sehingga penulis bisa meringkas begini:
"Karena sikap warga yang tidak kooperatif, yang selalu mengganggu kami dengan keluhan kecil-kecil ... saya mengundurkan diri," kata Ketua RT itu.
Atau, ada cara yang paling "aman":
"Karena sikap warga yang tidak kooperatif, saya mengundurkan diri," kata Ketua RT itu. "Mereka selalu mengganggu kami dengan keluhan kecil-kecil."
Kalimat awal kutipan seyogyanya dibuat ringkas, dan pembaca segera diberitahu siapa yang mengucapkan kutipan itu. Janganlah menyusun kutipan yang berpanjang-panjang, sehingga baru setelah nyaris menghabiskan satu paragraf penuh, penulis baru memberitahu, "...........," kata Ketua RT itu.
Dalam bagian atas kita sudah bicarakan perlunya paragraf pendek. Tapi kadang-kadang sebuah kutipan yang bagus memerlukan tempat panjang.
Nah, seorang penulis Feature yang baik akan membagi kutipan itu menjadi beberapa paragraf.
"Kesulitan kami muncul setelah saya dipecat. Uang kami habis tiga minggu kemudian, sehingga kami tidak bisa membayar sewa. Pemilik rumah mengusir kami, meskipun sebelumnya kami tidak pernah menunggak pembayaran. Saya mencoba kemudian untuk pergi ke Kantor Jawatan Sosial, tapi mereka mengatakan saya tidak berhak dapat bantuan karena saya menolak tawaran pekerjaan di luar kota. Saya tidak ada pilihan lain karena saya tidak punya uang untuk ongkos bis. Maka, selama dua minggu, kami tinggal di bawah jembatan semacam gelandangan," kata Abdul Ghafur.
Kutipan panjang seperti ini sebaiknya jangan dilakukan berulang-ulang, sebab mudah membosankan. Ingatlah "psikologi" pembaca, mereka ingin membaca tulisan Feature, bukan mendengar ucapan orang lain!
Bila penulis memuluskan memakai kutipan itu supaya efektif, ia harus memotongnya menjadi paling tidak dua paragraf. Ini bisa dilakukan dengan tidak menutup kutipan pada akhir satu paragraf dan menambahkan tanda kutipan pada awal paragraf berikutnya.
"Kesulitan kami muncul setelah saya dipecat," kata Abdul Ghafur. "Uang kami habis tiga pekan kemudian, sehingga kami tidak bisa membayar sewa. Pemilik rumah mengusir kami, meskipun sebelumnya kami tidak pernah menunggak pembayaran.""Saya mencoba kemudian untuk pergi ke Kantor Jawatan Sosial, tapi mereka mengatakan saya tidak berhak dapat bantuan karena saya menolak tawaran pekerjaan di luar kota. Saya tidak ada pilihan lain karena saya tidak punya uang untuk ongkos bis.""Maka, selama dua pekan terakhir ini, kami tinggal di bawah jembatan, semacam gelandangan."
Coba perhatikan bahwa penyebutan nama hanya sekali pada awal alinea karena kutipan masih berlanjut. Dalam hal-hal lain, bila ada kutipan baru, nama yang dikutip harus disebutkan lagi:
"Kesulitan kami muncul setelah saya dipecat," kata Abdul Ghafur."Uang kami habis tiga pekan kemudian, sehingga kami tidak bisa membayar sewa. Pemilik rumah mengusir kami, meskipun sebelumnya kami tidak pernah menunggak pembayaran."
Untuk meneruskan cerita itu setelah pengecekan secukupnya, penulis bisa mencampur kutipan langsung dan kutipan tidak langsung:
Mudjono, kepala bagian di tempat Abdul Ghafur bekerja di Koperasi Pertanian Meguwo, mengatakan Ghafur dipecat setelah terbukti menggelapkan uang pupuk. Ghafur membantah tuduhan itu.
Yang empunya rumah tempat Ghafur tinggal, Cecep Suganda, membantah kata-kata Ghafur, bahwa ia selalu membayar sebelumnya. Menurut Cecep, Ghafur belum membayar empat bulan."Saya mencoba ke Kantor Jawatan Sosial, tetapi mereka mengatakan saya tidak berhak dapat bantuan karena saya menolak tawaran pekerjaan di luar kota. Saya tidak ada pilihan lain, karena tidak punya uang untuk ongkos bis," kata Ghafur.Sri Sukatni, petugas di Kantor Jawatan Sosial, mengatakan Ghafur menolak tiga tawaran pekerjaan, termasuk di sebuah toko, 2 km jauhnya dari jembatan tempat tinggalnya kini."Maka, selama dua pekan terakhir ini, kami tinggal di bawah jembatan, semacam gelandangan," kata Ghafur.Di Kampung Jambe, Kelurahan Karangkobar, Nyi Fatimah, ibu Ghafur tinggal dalam sebuah rumah yang punya empat kamar. Para tetangga mengatakan bahwa Ghafur dan istrinya menyusup ke rumah ibunya segera setelah matahari tenggelam, dan tinggal di sana sampai matahari terbit.
***
Mau belajar menulis Feature - Berkesan Dibaca via daring (online), ikuti tahapannya, TAP /KETUK > di bawah ini:
Mau Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya, mudah, sedikit demi sedikit, dan saban hari, TAP /KETUK > di bawah ini:
Atau, hanya mau baca postingan-postingan Belajar dan Menulis? Tanpa berdialog, komentar dan ngobrol. Ikuti /follow saja Channelnya TAP /KETUK > di bawah ini:
Gabung dalam percakapan