www.izzuka.com

Portal #07 Hanyut

          Terkadang suara hati yang sesuai fitrah cahayanya redup oleh hasrat kita yang telah diliputi pengaruh teman-teman buruk kita. Jangan menyerah, jaga cahaya tersebut jangan sampai mati, meskipun hanya redup. Namun, pada lain kesempatan cahaya yang redup itu mampu bersinar menguasai diri kita ketika kita dibalut teman-teman yang baik.

          "Kapan lagi? Iko jarang-jarang ado balap motor tril di pantai. Bukan hari Minggu pulo, lhaa cemmano ndak nonton, kito galo sedang sekola ..." si B teman sekelasku, teman tercerdas di antara teman-teman di kelas 2A, SMP C mulai membuka wawasan teman-teman satu kelas, dengan menggebu-gebu. Aku mencium aroma pengaruh yang pekat.

          Hari itu, suhu udara cukup membuat keringat menjagung menutupi liang pori-pori kulit kami. Kota Bengkulu adalah kota dengan batas pantai memanjang pada sisi Selatan. Dan, sekolahku persis kisaran sejauh lapangan bola dari pantai. Provokasi B membuat suasana semakin hangat, di waktu istirahat, di sela-sela pelajaran kami. Kami sedang duduk-duduk dan mengobrol ngalor-ngidul di atas kursi panjang di sepanjang selasar depan kelas.

Selasar sekolah SMP C

          Arena balap sepeda motor tril itu akan digelar di pantai, tepatnya di lokasi area pariwisata yang bernama pantai Panjang, esok hari. Pantainya memang panjang sekali membujur dari Utara ke Selatan menyusuri tepian kota Bengkulu. Banyak sekali gundukan pasir di sana, bahkan ada sungai kecil berkelok- kelok sangat indah yang bermuara di pantai Panjang. Pada tepi sungai itu ada tubir-tubir tinggi yang menggoda kita ingin loncat dari situ dan mencebur ke permukaan air sungai. Dan, berenang-renang tentunya.

          Tak layaknya suatu pantai yang banyak ditumbuhi pohon kelapa, akan tapi pantai Panjang justru banyak ditumbuhi pohon cemara. Perpaduan antara gundukan-gundukan pasir, bukit-bukit kecil, pohon-pohon cemara yang rapat, dan sungai kecil sangat cocok tentunya untuk arena balap motor tril yang penuh rintangan menantang. Belum lagi, pasir pantai di sana sangat lembut. Banyak mobil yang kadang terjebak di lautan pasir yang sangat luas. Sulit untuk keluar rodanya dari benaman pasir, kecuali musti digali dulu.

          Ombak lautnya pun tak kalah indah. Ombak lautan Selatan, samudra Hindia memang menjulang tinggi-tinggi. Aku sering diajak Bapak berenang di sana. Sehingga aku pantas menyandang gelar "anak laut" jika memang ada gelar itu. Aku terbiasa menantang ombak yang bergulung-gulung dan menyelam di kedalamannya. Terkadang sebaliknya, aku buat diriku ikut terangkat ke atas oleh ombak yang menggempur sampai setinggi plafon rumah. Tambahan pula,  ada zona tertentu semacam "barrier" benteng karang yang menghadang ombak, sehingga di belakang karang itu terdapat area laut yang tenang dan bening, bagaikan kolam renang alami. Terlihat pula, ikan-ikan dan karang-karangnya yang indah dari atas permukaan airnya. Sungguh cantik dan molek! Balap motor tril itu memang sangat tepat memilih arenanya di pantai itu. Iko pasti seru nian!

          Aku melihat mata-mata temanku sebagian besar berbinar. Agaknya mereka mulai tergoda dengan hasutan B. Apalagi, B adalah murid terpintar di kelas kami. B punya kharisma tersendiri. Kata-katanya seakan-akan sihir. Akupun tanpa sadar, agak tergiur dengan wacana B. Aku membayangkan sepeda-sepeda motor tril berseliweran, saling kejar, saling melayang melewati tanjakan-tanjakan bergelombang dan "superbol" dengan gagah berani. Oi! Betapa hebatnya. Kami harus menonton. Ini baru namanya tontonan para lelaki.

          "Kita musti nonton! Idak ado kesempatan lagi. Kapan lagi ado balap tril, lhaa setahun sekali mungkin. Tapi sayangnya balap tril itu bukan diadakan hari Minggu. Bagaimana kalau kito idak usah masuk sekolah samo-samo besok?" racun sang penghasut B mulai meresap ke dalam aliran darah kami. Lalu, bertiup di hati-hati kami, seakan-akan ada yang mengipasi. Hati-hati kami bagaikan arang-arang yang semakin membara.

          Postur tubuh B kecil agak pendek, dan berkulit agak keling. Dia ini terkenal murid yang santai sekali. Tak pernah aku melihatnya belajar. Maksudku mengulang-ulang pelajaran di rumahnya. Walau begitu nilai ulangan pelajaran-pelajaran tak pernah di bawah 90. Angka 90 itu dalam "alam" nya B adalah angka minimal. Betul ... B adalah temanku yang jenius yang pernah aku temui di muka bumi ini.

          Suatu ketika, kami akan menghadapi ulangan umum, yaitu ujian akhir kenaikan kelas. Aku lupa, aku ada keperluan apa ke rumah B ... Oh iya, aku ingin pinjam catatan pelajaran dia. Catatan pelajaranku yang ada, kurang komplit. Sesampai di rumah B, aku melihat dia sedang bermain di halaman rumahnya. 

          "B, kau idak belajar?" tanyaku, tergeleng-geleng kepalaku dengan mata keheranan. Ajaib. Kalau aku besok akan ulangan umum, aku sudah "blingsatan" dari sejak pagi, "mantengin" buku pelajaran sampai malam. Pagi-pagi belajar lagi, mengulang-ulang apa yang telah aku baca tadi malamnya. Dari pagi sampai pagi kembali.

          B menimpali dengan kalem, "Santaaai..."


          Sekonyong-konyong aku teringat sesuatu. Aku baru sadar kalau aku ini ketua kelas 2A. Ah, rupanya aku ikut hanyut arusnya B. Tidak! Aku harus cegah. Aku selalu kena batunya jika teman-teman kelasku 'ngaco'

          Aku terkenang sesuatu sesaat kemudian. 


          Suatu ketika, pada pelajaran bahasa Inggris, guru bahasa Inggris, Ibu D menyuruh kami untuk mengikuti membaca beberapa kata-kata bahasa Inggris. Celakanya, setelah selesai kata-kata dibaca bersama, tenyata teman-temanku tetap mengikuti kata-kata yang diucapkan Ibu D walaupun itu kata-kata dalam bahasa Indonesia. Entah siapa yang iseng memulainya. Jangan-jangan B juga si biang kerok. Tidak sampai disitu, ketika Ibu D mulai melotot, dan mengeras wajahnya, teman-temanku sekelas tetap kompak mengikuti kalimat-kalimat yang keluar dari lisan Ibu D.

          Begitu selesai di ujung kalimat terakhir pada puncak suhu mendidih darah Ibu D, Ibu D tak menunggu lama lagi, gak pake lama, langsung angkat kaki dari ruangan kelas. Keluar, menuju ruang guru. Duduk di sana. Cemberut. Ngambek.

          Duh, akhirnya siapa lagi yang mewakili seisi kelas untuk meminta maaf kepada Ibu D kalau bukan aku sebagai ketua kelas. Runyam sudah!


          "Jangan, ... Nanti kito akan kena marah dan hukuman!" aku menjerit lirih, meminta belas kasihan teman-temanku yang sudah keblinger bayangan-bayangan motor tril mengudara, berakrobatik, dan kehebatan-kehebatan para pengendaranya yang gagah berani.

          "Akhirnyo ambo jugo yang kena, apo idak ingek peristiwa Ibu D ngambek?" aku mulai menyadarkan teman-temanku, melawan godaan-godaan si jenius yang absurd.

          Teman-temanku menatapku.

          "Kito musti kompak, kalo ado apo-apo ya kito tanggung besamo lah," B sok mengajak teman-temanku, seolah-olah ajakan menuju kebaikan. Menutupi  dengan solidaritas pertemanan di atas pengorbanan bersama. B tak perduli dengan nasibku.

          Omong kosong! Aku tetap tidak setuju. Pelanggaran tetap pelanggaran. Mau diubah kata-katanya dengan apapun, hakekatnya tetap sama. Ini makar namanya. Huh!

          "Aku tidak setuju!" tegasku, wajah dan rahangku mulai mengeras. 

          Aku tak peduli, walaupun aku takut juga berada di posisi melawan gagasan buruk B. 


          B ini pernah duel dengan murid kelas lain bernama Y. Waktu itu aku di posisi B, bahkan akulah bersama temanku yang lain, K yang mengantar dan mendukung B ke lapangan bola alun-alun kantor gurbernur propinsi Bengkulu sejauh lima menit berjalan kaki, untuk duel dengan Y. Aku lupa apa masalahnya. Zaman itu tak ada yang namanya tawuran atau keroyokan. Kami masih menjunjung tinggi sikap "kesatria" dalam definisi kami sendiri.


          Wal hasil, suasana istirahat menjadi bukan rehat lagi, akan tetapi menjadi letih dalam bersitegang.

          Wajah-wajah temanku terlihat datar tanpa ekspresi menatapku. Ada riak-riak resah di mata-mata mereka. Sepertinya api sudah terlalu besar, sedangkan aku bagaikan air "blangwir" pemadam kebakaran yang datang terlambat. Airnya sedikit pula. Waduh!

          "Teng, teng, teng ...!" bunyi pukulan pada lonceng yang terbuat dari velg truk bekas tanda masuk ke kelas merobek suasana panas kami. 

          Siang itu, perdebatan aku dan B tanpa penyelesaian, apapun yang akan terjadi esok hari.

***

           Pagi yang bening. Baskara baru saja semangat lepas landas dari horizon bumi. Denyut kota Bengkulu, mulai berdetak kembali. 

          Bapak-bapak berangkat kerja, ada yang ke kantor, ada pula yang ke pasar bawa ikan "selengek" untuk dijual, hasil melaut tadi malam, ada yang mengendalikan kuda yang menarik delman untuk mencari penumpang di pasar-pasar. Zaman itu masih ada delman. Ibu-ibu berangkat ke pasar membawa keranjang belanja dan catatan belanja agar tidak lupa apa saja yang akan dibeli, ada pula yang berangkat berjualan kolang-kaling, bumbu-bumbu Padang, dan ada pula yang mengantar anaknya berangkat sekolah. 

          Aku? Ya, aku seperti biasa berangkat sekolah dengan sepeda balapku. Aku sudah terbiasa ke sekolah bersepeda. Pagi yang cemerlang, membuat aku cergas menyambut hari. Aku kayuh sepedaku dengan kencang agar aku telah siap di kelas sebelum pelajaran dimulai. Apalagi aku ketua kelas, musti memberi suri tauladan kepada yang lain. Ya iyolah!

          Dan, ternyata saat itu aku lupa, aku akan menghadapi hari yang penuh kehebohan.

          Tak berapa lama, sampailah aku di depan gerbang sekolahku. Aku tempatkan sepedaku di tempat parkir sepeda-sepeda seperti biasanya. Lalu, aku berjalan cepat menuju kelasku, kelas 2A. Letak kelasku di dekat, bahkan bersebelahan dengan kantor guru. Tanpa berpikir macam-macam, aku masuk ke kelas, dan menuju bangku yang aku biasa duduk. Aku masukkan tasku ke dalam laci mejaku. Kemudian aku duduk. Kelas masih sepi. Aku terlalu semangat menggenjot sepedaku, sehingga aku sampai di kelas terlalu awal. Idak apo lah.

          Tak berapa lama satu persatu teman-temanku datang. Akhirnya lama-kelamaan ramai juga kelasku ini.

          Tapi, eh! Ada yang janggal di dalam kelasku. Teman-teman semakin banyak berdatangan, tetapi tanpa aku sadari dan akhirnya aku tersadar juga. 

         Mengapa teman-temanku yang berdatangan perempuan semua? Di mana teman-temanku yang laki-laki? Mengapa hanya aku yang laki-laki? 

         Di seberang sana terdengar bisik-bisik, kasak-kusuk, dan cekakak-cekikik teman-teman perempuanku, sambil melirik aku.

          Aku mulai panik. Ada apa ini? Woi! dimana kalian para lelaki!

          Alamak! Aku baru ingat hari ini, hari balap motor tril di pantai Panjang! Bukankah kemarin aku berdebat dengan B. Mereka pasti kompak membolos. 

          Waduh! bagaimana dengan aku? Malang benar nasibku. Aku ketua kelas. Aku tetap masuk sekolah? Dan, belajar di antara teman-teman perempuanku, aku hanya sendiri "til" laki-lakinya. Malu? Pasti! Mereka pasti mengolok-olok Malva banci, Malva banci! Malva teman-temannya perempuan. Tuh, lihat!

          Namun, ada bisikan sejuk di dalam hatiku, "Malva, kamu di atas kebenaran, kenapa takut? Berdirilah dengan gagah membawa bendera kebenaran, walaupun engkau sendiri."

          Bagaimana ini? Aku lihat jam tanganku. Jam 06.55. Lima menit lagi, lonceng masuk kelas berbunyi. 

          Aduuh, tolooong! jerit dalam hatiku. Aku ingat-ingat teman-temanku kemaren kasak-kusuk. Aku masih bisa mendengar mereka akan berkumpul di rumah N yang di pinggir pantai sebelum menuju bersama-sama ke pantai Panjang.

          Tapi, jika aku ikut mereka tentu aku mengkhianati pendirianku. 

          Tiga menit lagi.

          Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Guru-guru mulai berdatangan. Aku bisa lihat, tentu saja mereka lewat depan kelas 2A. Ruang guru di sebelah. Jangan-jangan ada guru yang lihat. Dan, bertanya kenapa kelas 2A perempuan semua. Gawat!

          Aku melirik jam tangan. 

          Dua menit lagi.

          Tentu aku yang akan ditanya. Aku ketua kelas. Ketua kelas. Ketua ...

          Satu menit lagi.

***

            "Ahaa, selamat datang Malvaaaa ....," senyum N merekah seolah menyambut tamu agung. N berdiri di depan rumahnya dengan tangan terbuka. Semua teman-teman laki-laki kelasku yang lainnya telah ada. Ada B. Mereka semua - untuk saat ini - wajah-wajah mereka aku lihat seperti wajah B semua. 

         Huh! Sebal aku rasanya. Aku seperti anak kecil terseret ombak laut semakin ke tengah lautan tanpa daya, sedang aku meronta-ronta. Aku ingin berteriak, tetapi tak ada suara yang keluar. Badanku hanyut ke tengah samudra, tapi jiwaku masih di tepi pantai. Tubuhku terbawa ke rumah N, tetapi jiwaku tetap ada di ruang kelas 2A. 

            Akhirnya, kami semua murid laki-laki kelas 2A sampai di pantai Panjang. Apapun yang aku tonton sudah menjadi tak menarik lagi bagiku. Pandanganku kemana, pikiranku kemana. Inikah dunia paralel itu? Sejatinya aku adalah satu, tetapi hidup di dua dimensi dunia. Pantai Panjang dan ruang kelas 2A. 

            Hanya satu yang senantiasa menjadi fokus pikiranku: apa yang akan kami hadapi di sekolah esok hari? 

            "Ayo yang tegap, jangan lemes begitu!" bentak pak S guru Matematika kami. 

            "Ini juga, kamu yang tegap!" gelegar kalimat keluar dari pita suara pak S kembali. 

            “Beeegghh!!” pak S yang badannya kekar dan besar melontarkan kepalan tangannya dengan secepat petinju juara kelas berat World Champion ke arah temanku sekelas. 

            Nafasku tertahan. Ternyata tinju pak S yang kuat itu tak pernah sampai menyentuh sedikitpun pada tubuh temanku. Pak S hanya berpura-pura akan menghantam, dan ia hanya memukul dadanya sendiri, sehingga menimbulkan suara berdebam. Namun, cukup mengejutkan dan seperti pukulan betulan. Kami menciut. Mengkeret. 

            "Kalian gagah berani ketika membolos, menonton tontonan para lelaki. Sekarang kalian harus tegar juga menjalani resikonya! Kalian laki-laki!" hardik pak S kembali hampir-hampir merobek gendang-gendang suara telinga kami. 

Halaman Sekolah SMP C

            Siang itu, kami seluruh murid laki-laki kelas 2A berbaris memanjang satu baris. Berdiri di halaman sekolah kami yang terletak di tengah-tengah sekolah. Halaman itu dikelilingi kelas-kelas dalam formasi berbentuk huruf U. Sehingga kami semua tampak oleh mata-mata seluruh murid sekolah dari semua penjuru sekolah. Duuh, malunya ...

            Mentari memanggang kami, entah sampai kapan.  
 
***

Nama-nama tokoh sengaja disamarkan, untuk menjaga "privacy" masing-masing sosok pribadi di dalam kisah nyata tersebut.

***

Mau membaca tulisan Kelindan Kisah-kisah Nyata "Meretas" via daring (online)TAP /KETUK > di bawah ini:

Mau belajar menulis Kelindan Kisah-kisah Nyata via daring (online), ikuti tahapannya, TAP /KETUK > di bawah ini:

Atau, mau belajar menulis Kelindan Kisah-kisah Nyata via luring (offline), beli saja bukunya, TAP /KETUK > di bawah ini:

Mau belajar menulis Kisah Nyata via daring (online), ikuti tahapannya, TAP /KETUK > di bawah ini:

Atau, mau belajar menulis Kisah Nyata via luring (offline), beli saja bukunya, TAP /KETUK > di bawah ini:
Buku Menulis
Kisah Nyata

rasa Novel - 55k


Mau Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya, mudah, sedikit demi sedikit, dan saban hari, TAP /KETUK > di bawah ini:
WhatsApp Salafy Asyik Belajar dan Menulis

Sederhana itu Lebih - Less is More. Desain bukanlah menambah-nambah biar berfungsi, tetapi desain adalah menyederhanakan agar berdaya guna.
Produk

Online Shop
Buku, Peranti belajar,
dan sebagainya



Misi


Fakta
Ciri Khas Artikel



F A Q (Frequently Asked Questions)
Pertanyaan yang sering diajukan

Silahkan chat dengan tim kami Admin akan membalas dalam beberapa menit
Bismillah, Ada yang bisa kami bantu? ...
Mulai chat...