#01 Nilai = Keterampilan?
Selembar Kertas Menyesatkan
Arsitek dilarang beriklan!
Seonggok kalimat, yang selalu menjadi pertanyaan dalam benak Malva setelah lulus dari ujian sarjana. Malva baru tahu belakangan, mengapa seperti itu.
***
Bulan Desember, Abad 20.
Hari itu, hari yang mendebarkan.
Malva telah merasa rapornya akan dibanjiri dengan tinta merah. Nilai-nilai pelajarannya sudah pasti kebanyakan jeblog semua. Malva waktu itu berada di kelas dua sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri di bilangan selatan Ibukota. Hari itu adalah hari penerimaan rapor semester pertama.
Dia teringat kembali masa-masa belajar di sekolah ketika semester pertama itu. Hari-harinya dipenuhi dengan ketidakseriusan. Main-main. Ngobrol di dalam kelas saat pelajaran berlangsung. Ngabur dari pelajaran yang tak ia sukai. Main bola pada waktu luang. Nongkrongin mie ayam di kantin. Dan banyak lagi. Dia tak ingat lagi apa saja yang telah ia lakukan untuk membuang keseriusannya dalam masa-masa belajar sekolahnya. Terlalu banyak untuk diingat dan terlalu banyak untuk diceritakan yang akan membuatnya semakin malu.
Yang tersisa dari semua itu, Malva sampai-sampai merasa bahwa:
dirinya tak tahu lagi untuk apa dia sekolah!
"Kacau deh, rapor gue kebakaran! Hampir seluruh pelajaran nilainya merah semua!" kata hati Malva ketika rapor di tangan bergetar tanda terkejut setengah takut. Telah terbayang, betapa Bapak dan Ibu akan marah besar. Malva akan menjadi pemancing. Pemancing kemarahan.
"Ikut les sama guru pelajaran yang nilainya merah, dijamin deh biru semua pada kenaikan kelas nanti ...," hibur F teman Malva, memberi solusi dengan gestur wajah penuh keyakinan di tengah gundah gulananya Malva.
"Yang sudah-sudah juga begitu kok!" tambah F lagi, memberi fakta untuk meyakinkan.
"...???" Malva termangu-mangu, dia semakin bingung saja. Kehilangan arah. Lenyap orientasi. Malva saat itu juga, merasa semakin tersesat di dunia sekolah. Seakan-akan berada di tengah labirin tanpa ujung.
Malva sekarang telah mengetahui bahwa, waktu itu sekolah telah membuat Malva tak mampu lagi membedakan antara "proses" dan "tujuan". Ketika proses sekolah dan tujuan sekolah dicampuradukkan maka timbullah 'nilai-nilai baru'. Nilai-nilai yang menyesatkan. Nilai-nilai yang membuat Malva bodoh di tengah-tengah "peperangan melawan kebodohan (baca: sekolah)".
Malva telah diajak untuk memahami bahwa:
"pengajaran" sama dengan "belajar"."Naik kelas" sama dengan "sekolah"."Ijazah" atau "rapor" sama dengan "kemampuan".
Maka dengan demikian Malva merasa telah mengalami penyimpangan dalam memahami makna "sekolah" itu sendiri.
Malva merenung, mengapa ya telah sangat demikian biasnya?
Tiba-tiba, Malva teringat pernah membaca suatu literatur tentang sejarah timbulnya sekolah sebagai bagian dari perkembangan peradaban manusia tempat lembaga sekolah itu lahir. Dan, dia juga semakin tahu apa dampak secara kejiwaan dari lembaga sekolah akibat dari nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat berdasarkan perjalanan sejarahnya.
Jika ditelusuri dari bahasa aslinya, kata "sekolah" berasal dari bahasa Latin yaitu skhole, scola, scolae atau schola yang berarti "waktu luang" atau "waktu senggang".
Nah, lihat sejarahnya maka akan terlihat hubungan antara makna sekolah dan arti secara bahasa.
Dahulu di Yunani - tempat asal muasal kata "sekolah" - orang mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang yang pandai dalam hal-hal tertentu untuk menanyakan dan mempelajari hal-hal yang mereka butuh ketahui.
Dari sini dapat dimengerti secara istilah, “sekolah" berarti;
"waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar".
Lama-kelamaan, kebiasaan tersebut tidak semata-mata menjadi kebiasaan kaum lelaki dewasa. Kebiasaan tersebut juga diberlakukan bagi anak-anak mereka. Karena desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan kian menyita waktu, orang tua merasa bahwa mereka tak punya waktu lagi untuk mengajarkan banyak hal kepada anak-anak mereka. Maka mereka mengisi waktu luang anak-anak mereka dengan cara menitipkan atau menyerahkan kepada seseorang yang pandai di suatu tempat tertentu, biasanya kepada orang atau tempat dimana mereka juga dulunya pernah ber-"skhole".
Maka sejak saat itulah,
telah beralih sebagian dari fungsi pengasuhan ibu sampai usia tertentu menjadi lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti orang tua.
Kemudian, karena semakin banyak anak yang diasuh dan dalam jangka waktu yang lebih lama, maka mulailah diperlukan banyak pengasuh yang bersedia meluangkan waktu secara khusus untuk mengasuh anak-anak di suatu tempat yang telah disediakan, dengan pola yang semakin teratur, dengan peraturan yang lebih tertib dan dengan imbalan jasa dari orang tua anak-anak. Keadaan ini berlangsung sampai sekarang.
Akhirnya pelembagaan sekolah ini telah menimbulkan ketidakberdayaan kejiwaan. Ketergantungan pada pelayanan lembaga sekolah membuat manusia jadi sangsi akan kemampuannya untuk menyelesaikan urusannya sendiri. Proses degradasi ini semakin cepat ketika kebutuhan-kebutuhan non-material diubah menjadi permintaan akan barang, ketika sekolah dilihat sebagai hasil dari industri jasa atau pelayanan.
***
Bulan Juni, abad 21.
Sudah tanggal 10, hari yang cerah, secerah hati Malva.
Pada hari itulah, Malva bisa mengambil honor mengajar. Honor hasil jerih payah atas pekerjaannya sebagai dosen tidak tetap pada suatu institusi perguruan tinggi di Ibukota.
Seratus lima puluh ribu rupiah. Hati Malva mendadak kelabu seolah-olah datang mendung meliputi hatinya.
"Kok, gak naik-naik ya?" tanya Malva dalam hati setengah kesal. "Ah, mudah-mudahan cukup," hatinya kembali menenangkan.
"Kalau mau naik honormu, kamu harus sekolah lagi untuk mendapatkan gelar S2," kata temannya yang dosen juga di institusi yang sama. Temannya itu memang telah mendapat gelar S2 dengan menyelesaikan kuliah S2 di institusi lain.
Betul! ... Seorang dosen jika telah menyandang gelar S2, maka kepangkatan sebagai staf pengajar akan naik pula. Kepangkatan dalam staf pengajar otomatis akan menaikkan honor atau gaji dengan sendirinya.
Bagi Malva, untuk sekolah lagi sehingga mendapatkan gelar S2 mungkin tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah baginya adalah untuk diterima di perguruan tinggi setara S2 menuntut adanya persyaratan batas minimal nilai Indeks Prestasi ketika kuliah di tingkat S1.
"Indeks Prestasiku khan cuma 2,45," bisik Malva seakan berkata kepada dirinya sendiri dalam suasana keputusasaan.
"Ah, itu sih gampang diatur sama bagian Administrasi Fakultas," kata teman lain Malva yang dosen juga. Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang setiap bulan, ketika Malva mengambil honornya yang jika secara akal tak cukup untuk pengganti bensin sekalipun.
Malva samar-samar melihat, dalam imajinasinya ada "benang merah" masalah sekolah yang terbentang dari masa SMA nya dulu ketika rapornya membara dengan tinta merah dengan masa sekarang sebagai dosen.
Nah, jika memang demikian,
bagaimana kita mampu memberikan keterampilan-keterampilan atau keahlian-keahlian yang didapat dengan memberi kemudahan dalam belajar kepada para pelajar?
Dan, bukan dengan sistem bagaimana memberi kemudahan mengajar bagi para pengajarnya.
Intinya,
sekolah itu punya predikat “belajar” dan subjeknya adalah “pelajar”,
bukan predikatnya “mengajar” dan subjeknya “pengajar”.Sekolah itu “rumah belajar”, bukan “rumah mengajar”.
Ternyata masyarakat masih menuju ke arah "sekolah" dalam arti kata secara bahasa!
Yaitu hanya untuk mengisi waktu luang untuk mendapatkan selembar kertas yang berjudul: ijazah!
Suatu ketika, Malva pernah mengikuti kursus program aplikasi komputer dari suatu perusahaan authorized (berwenang atau asli) atau perusahaan resmi suatu program aplikasi Computer Aided Design di ibukota. Malva mendapat sertifikat asli dari perusahaan yang merupakan cabang resmi dari perusahaan induk Autodesk di Amerika itu.
Dengan hati bangga dan yakin, dan dengan bermodalkan sertifikat itu, mulailah Malva melamar pekerjaan di berbagai perusahaan bidang rancang bangun. Ternyata, tak satupun dari perusahaan-perusahaan itu menerima Malva sebagai karyawan mereka.
Apa pasalnya?
Malva tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas dengan menggunakan aplikasi program komputer tersebut dalam tes pekerjaannya, meskipun sertifikat asli dari Amerika telah digengamnya. Wal hasil, waktu itu Malva tak bisa bekerja alias nganggur.
"Loe, kudu banyak latihan pakai software itu," nasehat D temannya yang telah bekerja di suatu konsultan rancang bangun.
Akhirnya bermodalkan sisa uang yang dipunyai, Malva membeli komputer untuk melatih keterampilan dalam menggunakan program aplikasi komputer itu. Dengan ketekunan dan kesabaran Malva terus berlatih. Sesekali dia mengunjungi temannya si D itu, di kantornya ketika kerja lembur malam, untuk melihat bagaimana kiat, tips dan trik sehingga piawai dalam menggunakan aplikasi komputer tersebut. Setiap hari Malva terus berlatih tanpa letih.
Waktu pun melesat selama tiga bulan, tak berapa lama ia langsung diterima bekerja di konsultan yang sama tempat D bekerja.
Malva mulai menyadari, sertifikat dan nilai tak ada gunanya walaupun asli alias original dari perusahaan authorized.
Di lain waktu, Malva mencoba melamar pekerjaan di suatu tempat kursus program aplikasi komputer tersebut. Saat wawancara, Malva hanya mengisahkan pengalaman dan keahlian dia dalam menggunakan program aplikasi Computer Aided Design. Bahkan, Malva pernah menjadi CAD Manager dalam suatu perusahaan. Malva juga menantang untuk diuji pewancara, supaya Malva dapat menunjukkan kemampuannya yang sudah tingkat profesional itu.
"Begini pak Malva, bapak tidak usah kami tes ... silahkan tentukan hari-hari apa saja dan jam berapa saja bapak bersedia mengajar di tempat kursus kami. Adapun kami dan siswa bisa kami atur dan menyesuaikan."
"???...," Malva tertegun.
"Bapak kami terima sebagai instruktur di tempat kami."
Saat itu juga, Malva sadar, nilai tidak ada manfaat tanpa kemampuan.
Begitu pula, untuk kesekian kalinya Malva memahami bahwa beriklan seakan-akan dilarang dalam profesi Arsitek.
Mengapa?
Apapun permasalahannya kecil maupun besar, kita tak boleh berbohong. Pun, dalam profesi sebagai Arsitek. Masalah mewujudkan sebuah bangunan seorang klien adalah masalah besar dan menyerap dana yang tidak sedikit pula. Ketika bangunan sudah terwujud, bahan bangunan seperti semen, batu bata, dan lain-lain telah mengeras. Bangunan tak bisa dihapus lagi layaknya di atas kertas. Arsitek harus punya etika, jangan berbohong atau menipu dan jujur tentang kemampuannya.
Sebagai contoh dalam iklan sabun, beda antara satu sabun dengan sabun yang lain. Ada sabun yang bisa membersihkan anggota keluarga dari kuman-kuman agar menjadi keluarga sehat, ada sabun yang bisa membuat kulit bersinar layaknya tokoh yang diidolakan, dan lain sebagainya. Itu adalah keahlian jasa marketing dan advertising, yaitu sengaja membuat image atau branding seperti itu. Padahal intinya sabun sama semua, yaitu membantu membersihkan badan.
Nah, inilah yang dikhawatirkan dari iklan jasa Arsitek. Tidak lain dan tidak bukan karena tim advertising bisa menyulap image Arsitek dalam sebuah lembaran iklan melebihi dari yang ditawarkan atau dijanjikan.
Memang ada juga orang diterima di suatu perusahaan atau orang tertipu memakai jasa tanpa punya keahlian, tapi boleh ditanya pasti "lewat belakang". (ibman)
***
Jika ada fakta berupa kisah pada tulisan ini, itu adalah kisah nyata dan bukan fiksi semata. Namun, nama Malva, F dan D yang ada di dalamnya adalah nama samaran. Sekedar untuk menjaga "privasi" tokoh-tokoh tersebut.
Tugas Latihan
Apakah inti opini artikel tersebut di atas?
***
Mau Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya, mudah, sedikit demi sedikit, dan saban hari, TAP /KETUK > di bawah ini:
Gabung dalam percakapan