Portal #03 Nyaris
Cuaca sumringah berseri-seri, mega enggan menodai langit. Mentari hampir mencapai kematangannya. Awan tipis membalut lautan selat Sunda. Ya, Selat Sunda, lautan terlihat berkilat-kilat dari bingkai jendela mesin terbang jenis Fokker F.27 dengan nama Garuda. Mataku tak berkedip, seolah ingin keluar melalui jendela itu. Aku tepaku di kursi pesawat itu. Udara dingin di dalam rongga pesawat menggigit permukaan kulit. Aku hari itu masih berumur delapan tahun, akan tetapi kini, masih cukup jelas hari itu untuk diputar ulang bagai rekaman video. Pengalaman pertamaku melakukan perjalanan menaiki pesawat terbang. Wah, iki mestine puol serune!
Dengan berjalannya waktu, karier Bapak bagus, dan akhirnya ia ditugaskan menjadi Kakanwil (Kepala Kantor Wilayah) Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja untuk Wilayah Propinsi Bengkulu. Untuk pemindahan tugas itulah, maka keluargaku melakukan perjalanan antar pulau yang sangat panjang Sidoarjo - Bengkulu. Perjalanan pertama adalah Sidoarjo - Jakarta via darat. Perjalanan kedua Jakarta - Bengkulu via udara. Saat ini, keluargaku sedang dalam perjalanan Jakarta - Bengkulu via Garuda Indonesian Airways Fokker F.27. Tahun berapakah itu? Telah lewat jauh di belakang, 1972.
Tadi pagi, aku bersama Bapak, ibu, dan dua kakakku telah berada di ruang tunggu penumpang Lapangan Terbang (dahulu belum dinamakan Bandar Udara - Bandara) Kemayoran, Jakarta. Ruang tunggu itu membentang sangat luas memanjang di bagian sisi area landasan pesawat terbang. Orang-orang lalu lalang, sibuk membawa barang-barang, entah kopor, atau tentengan oleh-oleh, atau apalah tetek bengek bekal perjalanan.
Waktu serasa merayap lambat bagi orang yang sedang menunggu. Aku sudah tak sabar untuk menjemput pengalaman pertamaku melakukan perjalanan menaiki pesawat terbang. Pekerjaan yang paling menjemukan adalah menunggu. Akupun tak banyak bicara. Masa-masa di Magersari dan Sidoarjo dengan segala ketakutan dan tanpa teman-teman sebaya membuat aku menjadi anak serba ragu-ragu, pemalu dan pendiam.
Daripada bosan menunggu, aku membuang-buang pandangan dan menstimulasi pikiran-pikiranku terhadap apa yang aku lihat. Dan, memang walaupun aku anak pendiam, aku selalu sibuk dengan pikiranku dikarenakan aku suka dengan buku, aku haus untuk membaca dan membaca. Tukang moco. Kutu buku.
Mataku memindai seluruh sisi-sisi dan sudut ruang tunggu. Barangkali ada yang bisa aku lihat sesuatu yang belum pernah kulihat. Maklumlah aku adalah anak yang tinggal di kota kecil Sidoarjo. Melihat Lapangan Terbang saja, baru kali ini. Ndesit tenan aku iki, he ... pengalaman anyar iki, gak oleh buang kesempatan!
Sepagi ini, petugas kebersihan lapangan terbang sudah mondar-mandir seperti setrika. Aku lamat-lamat memperhatikan petugas itu. Petugas itu membawa suatu alat yang bergagang panjang dengan cabang bagian bawahnya seperti huruf T terbalik. Yo, koyok alat pel seperti di rumah-rumah, hanya saja ini lebih besar.
Petugas kebersihan itu mendorong alat pel itu dari ujung ke ujung ruang tunggu. Balik lagi, balik lagi, terus semakin mendekati dinding yang menghadap landasan pacu lapangan terbang. Dinding itu, sebenarnya bukanlah dinding dari tembok batu bata yang diplaster adukan semen dan pasir. Akan tetapi, dinding itu adalah jendela-jendela kaca yang menjulur dari plafon sampai lantai ruang tunggu selebar dinding itu dengan bingkai-bingkai alumunium yang mengkilap. Wuih, mewah pokoke rek!
Ketika petugas itu sampai pada bagian area depan pintu keluar masuk ruang tunggu yang terbuat dari kaca juga, tongkat pelnya terhalang suatu hamparan 'keset' pembersih alas kaki yang terbuat dari sabut kelapa. Karena tongkat pelnya terhalang 'keset' itu, maka benda itu ia pindahkan ke belakang, pada bagian area yang telah dibersihkan dengan pelnya, di depan salah satu jendela kaca. Lantas, petugas melanjutkan pekerjaannya ke bagian yang belum dibersihkan, ya mulai dari depan pintu keluar masuk ruang tunggu tersebut, terus lanjut sepanjang depan jendela-jendela kaca.
Mataku, aku gulirkan mengikuti gerakan petugas kebersihan itu semakin menjauh dari area pintu kaca. Suara berisik lalu-lalang penumpang membungkus langit-langit ruang tunggu.
"Duuk !!!" keras sekali suara benturan tersebut terdengar mengoyak keramaian suara hilir-mudiknya para penumpang. Eh! onok opo! Kuaget aku!
Suara itu terduga dari area dekat pintu kaca. Terdengar jelas oleh orang-orang yang berseliweran dan duduk di dekat area pintu kaca itu. Aku serta-merta, memalingkan wajah ke area itu.
Seorang wanita tua paruh baya sedang berdiri sempoyongan memegang dahinya. Wanita itu berdiri di atas hamparan pembersih alas kaki dari sabut kelapa itu. Tangannya memegang pegangan kopor kecil beroda yang terhenti, bersamaan wanita itu terhenti.
Hei! Apa yang telah terjadi? Lho opo'o?
Otakku bekerja dengan cepat menghubung-hubungkan apa yang telah kulihat. Sekali lagi aku amati, wanita tua paruh baya itu berdiri terhuyung-huyung, membawa kopor kecil, dan tangan satu lagi memegang dahinya. Terlihat wajah wanita itu menahan rasa sakit. Tak berapa lama, wajah itu berubah menjadi merah padam dan senyumnya menyeringai. Rona malunya tak dapat disembunyikan.
Oi! aku hampir saja menepuk dahiku, tersadar apa yang telah terjadi.
Apa yang telah terjadi wahai para pembaca? Jelas sudah.
Wanita tua itu mengira dia menuju pintu kaca keluar masuk area tunggu. Dia mengira akan melewati di bawah bingkai pintu itu. Ketahuilah, pintu kaca tersebut telah diterapkan teknologi modern. Jika kita telah menginjak hamparan pembersih alas kaki yang terletak di depan pintu, maka pintu kaca tersebut akan otomatis terbuka sendiri. Malang bagi wanita tua paruh baya itu, ketika dia menginjak hamparan itu, ternyata pintu kaca tidak terbuka.
Apa pasal?
Ya, jelas saja tidak terbuka, karena itu bukan pintu kaca otomatis tersebut. Wanita itu dengan yakinnya meluru dengan bergegas ke jendela kaca yang menjulur sampai lantai. Hamparan pembersih alas kaki yang bernama 'keset' itu terletak di depan jendela kaca itu. Bukankah petugas kebersihan telah memindahkannya! Lha yo, kok isooo!
Aku meyeringai sendiri jika ingat kejadian tadi pagi di ruang tunggu penumpang lapangan terbang.
Awan-awan masih membungkus selat Sunda. Mesin terbang ini telah mengangkasa jauh di atas awan-awan. Sambil teringat peristiwa tadi pagi, aku masih terpukau dengan vista pemandangan di balik bingkai jendela pesawat. Sungguh! Suatu pemandangan yang belum pernah aku saksikan selama hidupku. Terbang di atas awan-awan bermandikan siraman cahaya matahari dari atas sana. Lautan Selat Sunda di bawah sana telah lenyap sama sekali dari penglihatan.
Tiba-tiba suasana khidmat pemandangan angkasa itu terbelah oleh suara seseorang yang berdiri di ujung depan lorong sirkulasi di antara kursi-kursi penumpang. Seorang pramugari memperagakan bagaimana memakai pelampung penyelamat. Pelampung itu dipakai jika pesawat dalam keadaan darurat, entah mengalami gangguan saat terbang di atas lautan atau memang betul-betul dalam keadaan terburuk akan jatuh menuju permukaan laut. Prosedur peragaan tersebut memang harus dilakukan setiap pesawat melakukan penerbangan. Pelampung dapat di ambil pada bagian sisi belakang agak ke bawah setiap kursi penumpang. Pelampung itu dipakai dengan mengalungkannya di leher kita masing-masing. Kemudian, ada bagian seperti sedotan minuman yang ditiup oleh kita sendiri, maka tidak berapa lama mengembanglah pelampung tersebut. Pelampung telah siap mengambangkan badan-badan penumpang di permukaan air laut di sekitar pesawat terbang yang telah jatuh.
"Ada pertanyaan?" suara pramugari menggema di rongga ruang kapsul penumpang, mengakhiri penjelasannya.
Tak berapa lama, pramugari-pramugari membawa sajian makanan dan minuman kepada para penumpang. Dingin udara di dalam pesawat semakin merasuk ke dalam pori-pori kulit. Aku baru tahu sekarang, mengapa aku telah memakai jaket atas perintah orang tuaku. Aku sejatinya tak mengira udara sampai sedingin ini, padahal pesawat terbang tidak dilengkapi dengan pendingin udara. Aku ingat akan berita-berita di televisi tentang perjalanan para pendaki gunung mencapai puncak gunung dalam keadaan memakai jaket-jaket tebal. Begitu dinginnya di atas puncak gunung. Apalagi ini terbang jauh lebih tinggi dari puncak gunung-gunung itu!
"Mau makan apa?" tanya Bapak padaku yang duduk di sisiku, ketika seorang pramugari telah sampai di hadapan kedua kursi kami, dengan baki penuh dengan sajian makanan.
Selera makanku langsung merasuki lambungku. Aku menunjuk lembaran setangkup roti tawar dengan isi potongan-potongan daging ayam. Lalu, aku menunjuk dengan telunjukku kembali pada salah satu minumannya. Tak berapa lama, aku telah sibuk dengan pisau dan garpu plastik yang melengkapi tangkupan roti tawar itu. Pandanganku sesekali tak mau lepas dari vista bingkai jendela yang berbentuk segi empat dengan sudut-sudutnya yang tumpul membulat. Oi, betapa nikmatnya! Nikmat mana lagi yang hendak engkau dustakan?
Hanya dalam hitungan menit berbilang jari tangan tangkupan roti itu telah berpindah dalam proses pelumatan dalam lambungku. Tandas. Alhamdulillah.
Suara deru pesawat yang hampir tak terdengar kembali meliputi ruangan penumpang. Sesekali terasa goncangan-goncangan kecil akibat menembus awan-awan pada ketinggian tertentu. Setelah dewasa nanti aku baru tahu goncangan-goncangan tersebut diakibatkan "turbulence" dan "thermal" di sekitar area awan-awan tersebut. Turbulence adalah putaran angin yang tidak tentu arahnya yang mengakibatkan pesawat kehilangan "airborn" (daya terbang) sesaat. Sehingga, pesawat seolah-olah "anjlok" (jatuh) sedikit ke bawah. Sedangkan thermal adalah panas yang timbul di bawah awan yang akan mengakibatkan pesawat agak terangkat sedikit ke atas.
"Perhatian para penumpang yang kami hormati!" suara seorang pramugari yang berdiri di ujung depan lorong kursi-kursi penumpang kembali memecah lamunanku. Kali ini, suara pramugari terdengar agak keras walaupun masih terkesan ramah.
"Kami mohon kepada para penumpang agar memakai pelampung masing-masing yang ada di bagian belakang kursi di depan Anda. Silahkan memakai pelampung sesuai prosedur yang kami peragakan tadi."
Kemudian, pramugari memeragakan memakai pelampung yang ia sudah bawa dan memerintahkan kami memakai pelampung kami, lalu meniupnya. Kami benar-benar mempraktekkan memakai pelampung kami. Bapak memakaikan pelampung yang ada di depanku padaku. Begitu pula, Bapak memakai pelampungnya.
Oh, begini ya urusan pelampung ini jika naik pesawat. Mesti dipakai juga. Bukankah tadi pertama kali pramugari memeragakan saja? Sekarang, mengapa harus benar-benar dipakai? Ada apa? Pertanyaan-pertanyaan saling susul menyusul dalam benakku.
"Jangan lupa memakai sabuk pengaman," sambung pramugari mengingatkan ketika lampu peringatan untuk memakai sabuk pengaman menyala.
Wajah Bapak nampak mengeras. Aku bisa melihat jelas rahang gigi Bapak mengatup kencang. Tak ada senyum lagi di sana. Mata Bapak tidak fokus lagi. Bola matanya bergerak-gerak. Bapak menoleh ke kursi-kursi penumpang di depan dan belakang tempat Ibu dan kakak-kakakku duduk. Bapak juga sibuk memakaikan pelampung pada kakak-kakakku. Ibu telah memakainya. Ayah mengangguk kepada Ibu, seperti ada yang dipastikan bahwa semua baik-baik saja.
Lho onok opo iki? Kok meneng kuabeh?
Ada apa ini? Apakah ada yang tidak beres? Aku merasakan suasana yang ganjil. Suasana dalam pesawat agak rusuh. Apa yang telah terjadi?
Akan tetapi, Bapak diam saja. Tak berkata satu katapun. Demikian pula aku ingin bertanya, tetapi mulutku terkunci rapat. Aku anak pendiam. Aku jarang sekali bertanya-tanya, apalagi sekedar berkata-kata yang tidak ada keperluannya. Aku selalu takut untuk memulai sesuatu. Namun, aku adalah anak yang tidak pernah diam berpikir. Aku selalu ingin tahu sesuatu, ingin mencoba sesuatu. Aku merasakan ada kejanggalan suasana. Akan tetapi karena ini adalah pengalaman pertama menaiki pesawat terbang, maka terjadilah pertentangan nalar yang berkecamuk dalam pikiranku. Apakah memang demikianlah keadaannya jika naik pesawat terbang? Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang dalam kepalaku, tanpa berani mencari jawabannya.
Suasana rusuh sudah agak padam. Ruang pesawat kembali tenang, tetapi aku masih merasakan adanya ketegangan. Bisikan-bisikan, kasak-kusuk para penumpang masih menyebar di langit-langit pesawat. Baiklah, aku ikuti saja apa yang akan terjadi.
Tiba-tiba mesin terbang itu mengalami goncangan-goncangan yang cukup dahsyat. Getaran-getaran sangat terasa pada kursi yang aku duduki. Aku sontak melempar pandangan ke arah jendela pesawat. Ternyata pesawat sedang melewati gumpalan-gumpalan awan. Dari kursiku sangat terasa bahwa pesawat mengalami penurunan ketinggian yang drastis. Aku merasakan bagaikan bermain ayunan yang sedang mengayun turun, tapi terus menerus. Di luar sana yang terlihat hanya putih seperti kapas, ya pesawat sedang menembus awan-awan, menuju ke bawah.
Tak berapa lama, terlihatlah permukaan laut berkilau-kilau. Sejauh mata memandang hanya air dan air. Tak terlihat lagi awan-awan. Dan, pesawat terbang tidak mengalami penurunan lagi. Namun, goncangan-goncangan keras masih terasa. Bahkan, getaran-getaran semakin dahsyat. Pesawat terbang rupanya terbang rendah di bawah awan-awan. Pesawat terbang menembus 'turbulence' dan 'thermal' yang memang banyak terdapat di bawah awan-awan.
Aku duduk di sisi kanan pesawat. Kilauan pantulan cahaya mentari dari riak-riak air lautan sangat terlihat jelas. Sekarang, telah sampai manakah pesawat terbang ini?
Mendadak, horizon permukaan bumi yang berupa hamparan lautan itu menghilang. Pada jendela semakin nampak permukaan lautan. Pesawat terbang miring ke kanan sangat tajam. Jendela pesawat seolah-olah menghadap hampir frontal ke arah permukaan laut. Aku menahan nafas. Ah, rupanya pesawat ini sedang berbelok tajam ke kanan. Melakukan putaran tiga ratus enam puluh derajat.
Aku ingat, pernah membaca di literatur tentang pesawat terbang, bahwa jika pesawat terbang akan mendarat ia melakukan 'manuver' putaran minimal satu kali untuk menurunkan ketinggian. Kesimpulanku, bahwa pesawat akan mendarat. Tapi dimana? Ini di atas lautan.
Aku berusaha mengingat-ingat pelajaran peta Indonesia tentang letak kota Bengkulu. Ya, memang kota Bengkulu terletak di tepi lautan. Jangan-jangan memang sudah akan sampai mendarat di lapangan terbang Padang Kemiling, nama lapangan terbang di Bengkulu. Bisa jadi, pesawat terbang melakukan manuver di atas lautan dekat tepian kota Bengkulu.
Bapak menunjuk-nunjuk ke arah sayap kanan pesawat yang terlihat dari jendela. Aku langsung mengarahkan pandanganku ke arah yang ditunjuk Bapak. Lihatlah! Mesin pesawat yang ada di sayap kanan mengeluarkan asap hitam. Ada apa? Aku tak mengerti, mengapa Bapak menunjuk-nunjuk ke mesin pesawat itu.
Kemudian, akupun mengalihkan pandangan ke wajah Bapak. Dan, dengan mimik wajah dan mata, aku bertanya. Ada apa Pak?
Namun, wajah Bapak yang semula dengan rahang terkatup sontak berubah tersenyum. Baiklah, semua sepertinya beres-beres saja.
Tak berapa lama, terlihat tepi pantai. Lalu, daratan dan akhirnya rumah-rumah, gedung-gedung, jalan, mobil yang sibuk lalu-lalang. Ah, rupanya sudah sampai. Pesawat akan mendarat di lapangan terbang. Kami telah sampai di Bumi Bunga Rafflesia Arnoldi. Satu-satunya daratan Indonesia yang bangsa Inggris pernah menjejakkan kaki dan mencengkeram tangan besinya untuk penjajahan.
Roda-roda pesawat akhirnya menyentuh dengan mulus aspal landasan lapangan terbang. Aku merasakan sedikit ada goncangan ketika roda-roda itu menapak pada aspal landasan pacu.
Setelah memutar di ujung landasan pacu, pesawat perlahan berjalan menuju area parkirnya. Dan setelah pesawat benar-benar berhenti, lampu peringatan memakai sabuk pengaman padam, maka Bapak dengan segera memerintahkan aku untuk melepas sabuk pengaman dan pelampung. Terlihat wajah Bapak berubah lebih tenang. Tampak suatu kelegaan.
Kemudian rombongan penumpang dipersilahkan turun satu persatu. Akupun ikut berdiri, dan berjalan perlahan-lahan menuju pintu pesawat.
Setelah melewati pintu pesawat, aku merasakan kembali udara alam bebas. Segere rek!
Matahari baru saja tersungkur dari puncaknya. Gemuruh suara mesin pesawat terbang semakin pelan. Sambil menuruni tangga pesawat, aku menyesuaikan pandanganku di luar pesawat yang sangat terang oleh cahaya matahari.
Tapi sek, sek, sek ... sebentar-sebentar!
Lihatlah di atas gedung lapangan terbang ada tulisan sangat besar, aku mengejanya satu persatu huruf, "K-E-M-A-Y-O-R-A-N". Lambat laun aku berpikir.
Lho, iki ndik ngendi, ini dimana? Apakah nama lapangan terbang di kota Bengkulu sama dengan di Jakarta? Tak mungkin! Setahuku namanya Padang Kemiling.
Akupun sontak menatap Bapak dengan wajah banjir pertanyaan.
Bapak segera menyadari maksud tatapanku. Bapak tersenyum, mengangguk. Ya, nanti, nanti penjelasannya. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk itu.
***
Beberapa hari kemudian keluargaku berangkat kembali melakukan perjalanan Kemayoran - Padang Kemiling dengan pesawat terbang yang sehat, tentunya. Perjalanan lancar, tidak kurang sesuatu apapun.
Sesampainya di lapangan terbang Padang Kemiling, Subhanallah, lihatlah! Lha kok iso! Sungguh sangat berbeda suasana lapangan terbang ini. Lapangan terbang Padang Kemiling adalah lapangan terbang jenis perintis. Landasan pacu dan area parkir pesawat hanyalah hamparan rumput hijau. Ya, sangat sesederhana itu. Lingkungan yang melingkupi lapangan terbang hanyalah semak belukar yang luas. Dan, dalam radius sekian kilometer hanyalah hutan dan hutan. Tak ada rumah-rumah penduduk. Jika ada rumah, mungkin mata harus mencari-carinya karena tersembunyi di bawah-bawah kanopi hutan tropis Sumatra.
Gedung lapangan terbang, jauh dari bayanganku yang telah melihat lapangan terbang Kemayoran. Gedung lapangan terbang Padang Kemiling terlihat hanya seperti kantor suatu kelurahan satu lantai. Gak ngece lho, pancen ngono. Gedung berdinding tembok batu bata diplaster adukan semen dan pasir, beratap genteng tanah liat, berjendela-jendela kayu, dan berpintu hanya satu akses. Pintu keberangkatan dan pintu kedatangan hanya satu akses.
Tak ada keramaian penumpang yang hilir-mudik, yang ada hanya orang-orang yang menjemput para penumpang. Suasana demikianpun hanya sesekali dalam sebulan. Jadwal pesawat terbang yang datang ke daerah yang masih perawan ini hanya beberapa kali dalam sebulan. Ketika aku nanti seusia sekolah tingkat SMP nanti di Bengkulu, bahkan aku pernah bermain 'skate board' papan luncur beroda di area landasan lapangan terbang ini! Begitu sepinya.
Ketika aku melewati bingkai pintu kedatangan, aku langsung teringat pada ibu tua paruh baya yang menabrak jendela kaca ruang tunggu lapangan terbang Kemayoran. Onok-onok wae.
Seringaiku, bersamaan dengan apa yang ada dalam benakku, jika dicocok-cocokkan begitu mirip kejadian itu dengan gagal terbangnya pesawat Garuda Fokker F.27 yang telah aku naiki.
Akan tetapi wanita paruh baya itu, setelah menyadari apa yang terjadi, lalu ia berdiri tegak mengokohkan diri. Sambil menahan malu melanjutkan jalannya mencari dan menuju pintu yang asli.
Begitu pula, keluargaku setelah kembali ke Jakarta, bukan tidak mencoba lagi melakukan perjalanan ke Bengkulu via udara, namun beberapa hari kemudian kami tetap berangkat ke Bengkulu dengan pesawat terbang yang lain. Apapun masalahnya, kegagalan bukan berarti gagal mencoba dan mencoba lagi. Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda.
Aku pikir telah usai pengalaman yang tak terlupakan itu, sehingga aku mampu bernafas lega untuk dapat melewati hari-hari berikutnya. Tapi, sungguh aku telah keliru. Ternyata ini babak kehidupanku selanjutnya yang baru dimulai kembali. Aku akan melewati portal-portal episode kehidupan yang tak kukira.
Hari ini, mulailah awal kehidupanku yang bersejarah di Tanah Sumatra, tidak lagi di Tanah Jawa. Awal kehidupan yang akan mengubah irama kehidupanku dengan cara yang sangat menakjubkan. Yang, sebelumnya tak terbayangkan olehku sama sekali.
***
Mau membaca tulisan Kelindan Kisah-kisah Nyata "Meretas" via daring (online), TAP /KETUK > di bawah ini:
Mau belajar menulis Kelindan Kisah-kisah Nyata via daring (online), ikuti tahapannya, TAP /KETUK > di bawah ini:
Mau belajar menulis Kisah Nyata via daring (online), ikuti tahapannya, TAP /KETUK > di bawah ini:
Mau Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya, mudah, sedikit demi sedikit, dan saban hari, TAP /KETUK > di bawah ini:
Gabung dalam percakapan