#18 Teknik Deskripsi dengan pendekatan Impresionistis
Cara pendekatan teknik deskripsi berikutnya adalah pendekatan Impresionistis, yaitu berusaha menggambarkan objek secara subjektif. Subjektif, bukan berarti penulis seenaknya mengungkap detail-detail yang dicerapnya.
Dalam suatu deskripsi yang subjektif, penulis melebihkan bagian apa yang ia pilih atau yang ia interpretasikan sehingga akan menonjol sesuai yang penulis inginkan. Sebab itu, di samping,
✓ ia memilih sudut pandang yang terbaik untuk menampilkan objek,✓ penulis juga musti mengadakan seleksi yang cermat atas bagian-bagian mana yang dibutuhkan dalam rangka yang ia tonjolkan.✓ Juga memberi konteks-konteks yang mendukung, sesuai yang penulis ingin interpretasikan.
Perhatikan contoh berikut:
Takut
Aku duduk di kursi kiri Kijang pick up itu. Sementara Ersi mengemudi di kursi kanan. Jalan aspal yang kami susuri mulai menanjak. Mobil pick up berbentuk kotak-kotak layaknya Cybertruck itu mulai meraung-raung, terengah-engah mengambil nafas panjang. Di kanan-kiri kami mulai nampak terbentang pepohonan teh bak karpet hijau yang empuk. Di depan kami agak ke kiri nun jauh di sana berdiri anggun bukit Puncak Pass. Kabut tipis menyelimuti lerengnya. Pohon-pohon cemara bergerombol di beberapa lerengnya, tertiup angin semilir daunnya melambai-lambai bagaikan mengucapkan selamat datang kepada kami. Sungguh indah negeri ini!
Sejenak kemudian, aku mengarahkan pandangan ke kiri ke arah lembah yang datar dan luas. Aku lihat seperti landasan lapangan terbang kecil beralaskan rumput hijau di tengah-tengah kebun teh. Lapangan itu berbentuk empat persegi sangat panjang.Aku jadi ingat sesuatu. Aku tersentak. Ya, itu landasan untuk 'landing' mendaratnya 'layangan'. Ya, kami biasa menyebut layang gantung (hang gliding) dengan 'layangan' saja. Aku baru ingat kembali bahwa hari ini aku akan terbang yang pertama kali dari bukit 60 meter! Aku pernah mendengar untuk terbang dari Bukit 250 meter, musti melewati tahapan terbang dari Bukit 60 meter berkali-kali. Rupanya, aku telah terlena dengan pemandangan indah. Aku lupa mau apa aku ke sini.
Tiba-tiba, pepohonan teh bak karpet hijau empuk itu dalam benakku berubah menjadi karpet paku-paku yang tajam. Bukit Puncak Pas berdiri angkuh dan angker. Kabut tipis tampak menyimpan misteri. Pepohonan cemara dedaunannya melambai-lambai mengejekku. Sungguh membuatku takut. Aku gemetar. Ersi instrukturku berwajah pucat dingin siap dengan komandonya. Ketakutanku mulai makin merasuk ke dalam diriku.Raungan mobil pick up yang membawa layangan semakin membuat kacau pikiran dan konsentrasiku. Aku teringat kembali ketika berlatih di bukit 15 meter di daerah Lapangan Udara Halim Perdana Kusumah."Konsentrasi ! Jangan takut ! Hilangkan rasa takut !" komando Ersi kepadaku dengan suara lantang.
Bagiku, sulit sekali dalam keadaan takut bersamaan itu pula aku musti konsentrasi dan fokus mengendalikan layangan dengan menukikkan layangan ke arah permukaan tanah landasan dan sekaligus pula aku musti lari dan meloncat dari ketinggian 15 meter. Akan tetapi, dengan tekun dan sabar, berbulan-bulan aku terus berlatih sampai diputuskan oleh Ersi untuk bisa terbang di bukit yang lebih tinggi. Bukit 60 meter!Tanpa terasa, kami telah parkir di area parkir Bukit 60 meter. Kami buka ikatan layangan yang terlipat dari bak tempat barang pick up, dan kami akan angkat ke puncak Bukit 60 meter. Posisi puncak bukit 60 meter itu berada di bawah area parkir yang kami berhenti tadi. Sehingga, kami berdua meng 'gotong' layangan terlipat dengan berjalan ke arah bawah.
Ketakutan masih menghantuiku. Aku berjalan sambil mengangkat layangan dan melihat ke bawah ke puncak Bukit 60 meter. Terlihat pepohonan teh kecil-kecil sekali. Wedew! Tinggi sekali! 60 meter itu 4 kali lipat Bukit 15 meter! Tinggi suatu rumah itu 3 meter, maka Bukit 15 meter seperti setinggi bangunan 3 lantai. Dan, Bukit 60 meter tentu seperti setinggi bangunan 20 lantai! Bagaimana dengan Bukit 250 meter? Seperti bangunan setinggi 83 lantai!Setelah layangan dibuka, peralatan terbang telah kupakai, dan aku telah terikat di dalam 'harnes' pakaian layang gantung. Aku siap tidak siap, harus meloncat dari tempat 'start' untuk lepas landas.Tampak olehku kebun teh di bawah sana bagaikan siap melahapku. Jantungku semakin berdetak kencang, seakan terdengar di telingaku. Bukit-bukit dimataku sudah tak indah lagi. Yang ada sekarang, aku berusaha keras untuk fokus. Fokus, fokus dan fokus. Buang rasa takut, titik. Tapi mengapa aku tak bisa. Tidak! Aku bisa! Harus!Ersi memegang ekor rangka layangan yang terbuat alumunium khusus. Ersi siap memberi komando. Aku dan moncong layangan sudah menghadap lembah landasan 'landing'. Nampak jalan mobil yang tadi kami lewati. Sesekali aku lihat mobil-mobil terlihat kecil-kecil seperti mainan melewati jalan itu. Mobil-mobil itu membisu, suara raungannya sudah tidak terdengar lagi karena nun jauh di bawah sana. Kini, yang terdengar hanyalah deru angin dalam keheninganku. Sementara aku masih dalam tegang berdoa. Aku memantapkan diri dahulu untuk siap meloncat lepas landas.
"Siap ?" tanya Ersi merasa terlalu lama menunggu."Jaga speed!" Ersi mengingatkan, dan aku faham harus membuat moncong layangan menunduk ke depan dan jangan sampai terangkat ke atas agar layangan mudah dikendalikan."Bismillah," ucapku berbisik sambil menjinjing dan memanggul segitiga kendali layangan yang sudah terbentang pada bahuku. Aku berjalan ke depan beberapa langkah seolah-olah akan terjun ke bawah ke lereng Bukit 60 meter. Aku kuatkan hati. Dan mulai 'start' lari meluru seakan mau bunuh diri menjatuhkan diri ke arah bawah lereng tepian Bukit 60 meter.Melihat gerakanku mulai beranjak lari beserta layangan yang telah menyatu dengan diriku, Ersi juga mendorong ekor layangan ke depan sekuat-kuatnya."Lari !!, lari !!, lari ...!!" kudengar teriakan Ersi memberi komando dari belakang, walau aku sudah tak bisa melihatnya dan akupun tidak peduli lagi. Suara Ersi semakin kecil, seakan semakin lama semakin menjauh di belakangku.Aku lari, lari dan lari. Kaki kulangkahkan cepat dan semakin cepat. Kaki itu semula menapak tanah landasan pacu Bukit 60 meter, lama-kelamaan terangkat melayang seiring dengan 'airborn' nya layangan. Aku seolah-olah lari di udara.Allahu Akbar!
Angin yang berlawanan menerpa sayap layangan membuat layangan terangkat dan maju ke depan. Dan, layangan itu mengangkat tubuhku yang telah terbungkus dengan 'harnes' pakaian layang gantung dan tergantung di tengah segitiga kendali. Teriakan Ersi semakin tak terdengar, karena aku dan layangan telah meninggalkannya jauh di belakang. Jika pada layang gantung terpasang kaca spion seperti layaknya sepeda motor, mungkin aku dapat melihat Ersi di belakang sana semakin mengecil."Hegh ..!" suara dan nafasku tercekat, terasa tekanan 'harnes' pada dadaku yang sangat dahsyat dan layangan mengangkat diriku. Aku lihat target landasan mendarat. Dan, aku arahkan moncong layangan ke arah itu. Gigiku terkatup kuat. Tegang. Aku terbang tak lama, mungkin sekitar 5 menit. Di atas aku tidak mendengar apa-apa lagi. Sepi. Deru angin saja yang menemaniku. Aku tak sempat belok-belok, sudah harus siap-siap mendarat.Aku tambah "speed" dengan menarik segitiga pengendali ke bawah. Layangan makin menukik ke bawah, baru sadar bahwa layangan kencang sekali ketika merendah dan mendekati landasan 'landing'. Pepohonan teh makin terlihat di kiri-kananku seolah-olah lari menuju belakangku dengan kencang sekali. Kakiku tergantung di udara telah merendah sekitar 2 meter di atas rerumputan landasan mendarat.
"Sekarang saatnya," kataku dalam hati. Aku angkat segitiga pengendali ke atas sekuat-kuatnya dengan tiba-tiba. Tiba-tiba layangan terangkat ke atas, mendadak berhenti dan kakiku turun ke bumi, menapak layaknya burung hinggap di dahan pohon. Mantap!Lega rasanya mendarat dengan selamat dan mulus. Gunung Puncak Pas terlihat anggun dan indah kembali, dedaunan teh terhampar luas bagai karpet, kabut yang menyelimuti lereng bukitpun tidak nampak seram lagi, dan pepohonan cemara berayun-ayun seolah-olah menyampaikan selamat atas 'landing'ku yang berhasil."Lebih resiko mana terbang dengan layang gantung, start di landasan pacu untuk lepas landas atau landing?", aku teringat pertanyaan yang diajukan Edgar instruktur seniorku yang lain. Aku tidak bisa menjawab."Ya lebih resiko 'landing' " Edgar menjawab pertanyaannya sendiri."Kenapa tahu gak? Karena kalau start loe punya dua pilihan, loe bisa start atau membatalkan start alias gak jadi terbang. Tapi kalau loe mau 'landing' hanya satu pilihan: loe harus landing! Loe gak bisa terbang ke atas lagi atau balik ke tempat start!" Edgar melanjutkan dengan pertanyaan kembali dan langsung dia jawab sendiri.
"Ya jelas aja lah, gak bisa terbang ke atas, karena layang gantung tidak bermesin," lanjutku dalam hati.Lamunanku terpecah dengan datangnya Ersi ke tempat 'landing'."Selamat ya," Ersi memberi salam jabat tangan erat sekali kepadaku.Kemudian seperti biasanya, setelah selesai terbang aku melipat kembali layanganku."Ersi!", aku dengar suara panggilan yang tidak asing lagi bagiku.Benar saja, Roy Sadewo kakaknya Ersi rupanya datang juga menyusul dari Jakarta. Kemudian Ersi menghampiri Roy, dan terlihat keduanya berbincang-bincang dengan serius. Roy ini adalah instrukturku yang paling senior di antara penerbang layang gantung seluruh Jakarta. Roy kakinya pincang karena pernah jatuh menabrak pohon kelapa ketika terbang di waduk Gajah Mungkur, Wonogiri. Roy kulihat dari jauh seperti menanyakan sesuatu kepada Ersi.
"Duh, jangan-jangan bertanya tentang kondisi terbangku tadi," aku mulai khawatir. Sepertinya ada yang tak beres. Ya, jika terbangku tadi dinilai jelek, paling-paling diulang beberapa kali lagi dari Bukit 60 meter. Ndak pa pa lah, itung-itung untuk latihan lebih baik lagi. Dan memang biasanya sebelum menuju Bukit 250 meter, musti bagus dulu terbang dari Bukit 60 meter. Toh, aku juga sepertinya belum siap jika tiba-tiba langsung terbang dari Bukit 250 meter. Masa' baru satu kali terbang dari Bukit 60 meter, langsung ke Bukit 250 meter. Gak mungkin lah.Tiba-tiba, Ersi menghampiriku sambil berkata, "Kita ke Bukit 250.""Haaah !!!"***
Setibanya di puncak Bukit 250 meter, ternyata tak sesuai harapan. Bukit 250 meter adalah tempat start yang biasa dilakukan oleh para senior layang gantung. Di situ biasa tersedia landasan pacu berupa semacam jalanan selebar kira-kira sama dengan panjang dua kamar tidur, menurun ke bawah ke arah lereng, tempat para penerbang layang gantung lari meluru untuk take off. Landasan pacu yang menurun itu dialasi papan-papan yang ditopang konstruksi besi yang saling menyambung dengan media las-lasan. Dan, ternyata papan-papan itu telah rusak dan lapuk. Yang tertinggal hanyalah konstruksi besi yang serba berkarat. Bagaimanalah kita bisa take off dari situ?Aku bersyukur dalam hati, karena saat ini tidak mungkin melakukan penerbangan dengan landasan pacu yang seperti itu. Alhamdulillah. Besok-besok, masih bisalah. Gak harus sekarang. Sekarang, jiwaku belum siap. Yang mboten-mboten saja, baru sekali terbang di Bukit 60, langsung ke Bukit 250. Ini, jika tidak ada Roy datang dari Jakarta, mungkin tidak ada ide gila seperti ini. Mana berani Ersi memutuskan untuk langsung ke Bukit 250.Aku melihat landasan landing tempat aku tadi landing terlihat sangat kecil, bahkan hampir tidak terlihat dari Bukit 250. Mobil-mobil yang melewati jalan terlihat seperti semut-semut beriring-iringan. Tanpa suara. Hanya suara kesiur angin yang mengerikan. Apalagi, suasana agak berkabut memasuki sore hari ini. Dingin, misterius beraroma suasana gak jelas, tak ada kepastian. Penuh spekulasi.Mendadak, aku melihat kelebat Roy memeriksa sekitar Bukit 250. Roy turun melalui lereng berumput di sisi kanan landasan pacu yang telah rusak tersebut. Mata Roy, bergantian melihat lereng tersebut dan melepas pandangan ke arah tempat landing. lalu, ia memeriksa permukaan lereng berumput tersebut.Duh, ada yang gak beres nih!
"Start dari sini!" Roy berkata tegas sambil menatap Ersi.Alamak!***Sore itu telah lahir dengan paksa seorang penerbang layang gantung betulan, bukan kacangan dengan "sayapnya walaupun masih kecil", tetapi atas gemblengan dua orang jagoan penerbang layang gantung kawakan dan disegani di dunia persilatan layang gantung nasional. Mendarat dengan mulus di landasan landing, setelah berputar-putar di ketinggian 250 meter di atas perkebunan teh, terkesima atas nikmatnya melayang-layang di sore berkabut, tenggelam dalam atmosfir misterius Puncak Pass.***
Kita melihat Deskripsi dari apa-apa yang dialami penulis. Deskripsi yang diungkap adalah;
- menggambarkan impresi atau kesan dari penulis.
- Tujuan kesan dari penulis adalah untuk menstimulir pembacanya.
- Urut-urutan pengembangannya sangat subjektif,
- tergantung perasaan yang ada pada penulis waktu itu.
Ketika lupa akan tujuan ke Puncak maka tertulis,
"Di kanan-kiri kami mulai nampak terbentang pepohonan teh bak karpet hijau yang empuk. Di depan kami agak ke kiri nun jauh di sana berdiri anggun bukit Puncak Pass. Kabut tipis menyelimuti lerengnya. Pohon-pohon cemara bergerombol di beberapa lerengnya, tertiup angin semilir daunnya melambai-lambai bagaikan mengucapkan selamat datang kepada kami. Sungguh indah negeri ini!"
Namun ketika ingat dan timbul rasa takutnya tertulis,
"Tiba-tiba, pepohonan teh bak karpet hijau empuk itu dalam benakku berubah menjadi karpet paku-paku yang tajam. Bukit Puncak Pass berdiri angkuh dan angker. Kabut tipis tampak menyimpan misteri. Pepohonan cemara dedaunannya melambai-lambai mengejekku."
Jadi, meskipun deskripsi di atas berdasarkan kenyataan, tetapi kenyataan-kenyataan itu telah dijalin dengan pandangan-pandangan subjektif penulisnya.
Baik pendekatan realistis maupun impresionistis harus
- memelihara kesegaran
- dan menjauhi pembaca dari rasa bosan.
- Dengan demikian terciptalah imajinasi dalam pikiran pembaca.
- Detail-detail yang tak ada hubungannya dengan pokok persoalan mustilah tidak dihadirkan, atau tak dituliskan.
Karena, itu akan mengganggu konsentrasi pembaca terhadap efek yang ingin ditimbulkan.
***
Mau belajar menulis Kisah Nyata via daring (online), ikuti tahapannya, TAP /KETUK > di bawah ini:
Mau Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya, mudah, sedikit demi sedikit, dan saban hari, TAP /KETUK > di bawah ini:
Gabung dalam percakapan