#08 Letusan terdahsyat Merapi dalam kurun 100 tahun terakhir, 4 November 2010
Gentar
Kamis, malam Jum'at 4 November 2010
"Tek ..., tek ...., tek...., tek....," bunyi getaran jendela dan pintu bersahut-sahutan di malam yang gelap gulita. Gempa vulkanik terus-menerus. Hanya ditemani nyala sebatang lilin, aku termangu tegang. Mata hendak aku pejamkan tapi tidak kunjung lelap. Aku pandangi lilin terus menerus. Aku lihat istriku tegang tak bisa tidur. Dia telah siap dengan pakaian lengkap seperti orang akan berpergian. Sementara anakku telah terlelap. Sungguh malam yang sangat mencekam.
"Assalamu'alaikum!" aku mengetuk rumah pak Nur tetanggaku. Di tengah derasnya hujan abu vulkanik aku berdiri di depan rumah tetanggaku itu. Dengan menggenggam payung pada tangan kiriku. Sedang tangan kananku memegang senter. Sekali-sekali aku memejamkan mata untuk menghindari serpihan-serpihan abu vulkanik yang menelusup ke dalam mata. Pak Nur tidak kunjung keluar.
"Assalamu'alaikum!" untuk kedua kalinya aku ulangi salam lebih keras lagi.
"Wa alaikumussalam!" terdengar sayup-sayup dari dalam rumah.
"Sebentar!" suara pak Nur semakin terdengar seiring dengan derap langkah semakin terdengar dan mendekat.
"Pak, saya minta lilin ... saya kehabisan."
"O...ada ...ada...!" Pak Nur masuk lagi ke dalam rumahnya.
"Bagaimana pak kondisi terakhir?" tanyaku sambil menerima lilin.
"Tadi memang kami berkumpul, untuk segera berwaspada dan siap-siap ngungsi kalau memang keadaan makin parah," jawab pak Nur memberi penjelasan dengan wajah tegang, terlihat samar-samar dalam kegelapan malam.
Setelah menerima dua batang lilin, aku bergegas ke rumah kembali. Aku menembus hujan abu vulkanik yang cukup deras. Lilin yang sudah kritis akan habis, segera aku ganti dengan yang baru.
Merapi menderu-deru, menggelegar bagaikan suara mobil truk dari kejauhan. Sekali-kali terdengar seperti suara batu-batu besar yang sedang diturunkan dari mobil truk. Detak-detak jantungku seolah-olah terdengar oleh telingaku sendiri. Petir menyambar-nyambar terus, bersahut-sahutan dengan Sang Merapi yang terus menerus mengerang-erang.
"Kumpul...! kumpul...! kumpul...!" sayup-sayup aku dengar seolah-olah dalam mimpi.
"Teeeet ..! teeetttt ..! teeeettt...!" suara klakson sepeda motor semakin jelas di pendengaranku.
"Haaaah !!!" aku terbangun. Aku tertidur. Aku harus bangun. Aku bergegas.
'Awan panas ...! wedhus gembel!' itu saja yang terlintas dalam pikiranku. Awan kabut yang bagian dalamnya berwarna kemerahan membara dengan kecepatan 100 km /jam dan suhu 600 derajat Celcius.
Aku lihat pohon di depan rumah, dahan-dahannya sudah patah-patah.Aku bergegas ke Madrasah Nisa' tempat kami harus berkumpul untuk mendapatkan arahan apa yang harus kami lakukan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa kami dari adzab Allah.
Aku gemetar. Allah ....
***
Aku buka detik.com.
Komandan Tagana: 4 Relawan Tewas, 1 Selamat.
"Dikatakan, keempat relawan itu tewas saat terjadi letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat pada Kamis (4/11) malam hingga Jumat keesokan harinya. Mereka sedang bertugas untuk mengevakuasi penduduk di Glagaharjo, Cangkringan, Sleman. Sedangkan 1 relawan lainnya berhasil selamat dari amukan awan panas atau wedhus gembel."
Sobat, Kisah di atas perlu kita analisis agar kita mengetahui;
- pola,
- kerangka
- dan hal-hal lain yang menyifatinya,
- sehingga kitapun mudah meniru membuat kisah yang sejenis.
Alhamdulillah, tulisan Kisah Inspiratif ini telah dibaca oleh ustadzuna Al-Ustadz Qomar ZA, Lc. Beliau membolehkan kita menulis tulisan dalam bentuk wacana tulisan cerita nyata. Dengan begitu, bukan menjadi masalah bagi kita untuk membagi tulisan-tulisan semacam itu, asalkan cerita nyata (nonfiksi).
***
Mau belajar menulis Kisah Nyata via daring (online), ikuti tahapannya, TAP /KETUK > di bawah ini:
Mau Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya, mudah, sedikit demi sedikit, dan saban hari, TAP /KETUK > di bawah ini:
Gabung dalam percakapan