#04 Mengapa harus Kisah Nyata (nonfiksi), bukan fiksi?
Jika bisa jujur, mengapa harus dusta
Kisah atau Narasi adalah cerita yang didasarkan
- urut-urutan suatu rangkaian kejadian atau peristiwa
- yang di dalamnya ada tokoh (beberapa tokoh)
- yang mengalami suatu 'konflik' atau 'tikaian'.
Kejadian, tokoh dan konflik ini merupakan unsur-unsur pokok dalam sebuah kisah, dan ketiganya secara kesatuan disebut plot atau alur. Maka Kisah bisa juga dikatakan sebagai cerita berdasarkan alur.
Kisah bisa berisi 'fakta', bisa pula 'fiksi' atau rekaan yang direka-reka atau dikhayalkan oleh pengarang saja. Yang berisi fakta adalah kisah nyata, biografi (riwayat hidup seseorang), otobiografi (riwayat hidup seseorang yang ditulisnya sendiri), kisah-kisah sejati seperti "Pengalaman yang tak terlupakan", dan yang lainnya.
Agaknya yang banyak diminati oleh khalayak adalah yang fiksi atau rekaan, akan tetapi kita
- sebagai Muslim yang menjunjung tinggi kejujuran dan merendahkan kedustaan
- tidak selayaknya membuat fiksi yang hakekatnya berisi kebohongan dan kedustaan.
- Kisah nyata sangat banyak bertebaran dalam kehidupan, tidak kalah menariknya dibanding dengan fiksi-fiksi yang hanya khayalan-khayalan.
Maka dari itu, Kisah yang kita buat haruslah benar-benar terjadi, baik dialami oleh orang lain maupun penulis sendiri. Untuk menulis narasi yang pernah dialami orang lain
- butuh pendataan yang valid,
- wawancara terhadap pelaku atau tokoh-tokoh dalam narasi tersebut,
- lalu survey lokasi sebagai latar dalam kisah.
- Survey lokasi perlu dilakukan agar penulis bisa menghayati suasana kejadian dan menuangkan dalam bentuk tulisan tanpa adanya unsur kedustaan.
Untuk melakukan hal tersebut dalam keadaan kita baru belajar menulis, adalah sangat sulit. Maka dari itu, untuk mudahnya kita dalam belajar bernarasi hendaknya menulis kejadian-kejadian yang penulis alami sendiri dulu saja.
Demikian, jelas sudah mengapa jika kita ingin menulis cerita, tidak lain tidak bukan haruslah cerita nyata atau dalam bahasa asing terkenal dengan istilah true story.
Konflik, syarat mutlak dalam Kisah Nyata (nonfiksi) yang sempurna
Kisah ada yang tidak sempurna. Kisah tak sempurna yaitu kisah tanpa konflik. Contoh kisah tidak sempurna misalnya,Kisah perjalanan yang penekanannya pada penggambaran segala sesuatu yang diamati selama perjalanan tersebut.
Karangan anak-anak juga banyak yang berbentuk kisah tak sempurna dengan judul seperti "Mengunjungi Nenek", "Menjenguk Budi di rumah sakit", "Bermain layang-layang", dan sebagainya.
Cerita seperti itu jelas tanpa konflik.
Jadi, seperti telah disebutkan di awal bahwa unsur-unsur penting dalam sebuah kisah yang sempurna adalah:
- Kejadian,
- Tokoh, dan
- Konflik.
Sehingga, jika kita mau coba menulis kisah nyata pengalaman kita sendiri,
carilah atau ingat-ingat pernahkah kita mengalami konflik dalam perjalanan hidup kita?
Misalnya,
dalam bidang usaha yang kita geluti yakni pernahkah ketika kita menggeluti usaha atau pekerjaan mengalami konflik?Atau dalam sepanjang hidup kita pernahkah mengalami konflik dalam tujuan hidup atau prinsip hidup?
Dalam hidup seseorang mustahil dia tidak pernah mengalami konflik, minimal konflik batin di dalam hatinya sendiri.
Konflik bisa terjadi
- antara kita dengan pembeli kita, jika kita berdagang,
- konflik juga bisa terjadi dengan atasan atau bawahan kita ketika kita sedang bekerja di suatu perusahaan,
- konflik juga bisa terjadi antara kita dengan klien kita jika usaha kita di bidang jasa,
- dan sebagainya.
Konflik juga tidak harus terjadi dengan orang lain, tapi bisa terjadi
- konflik dalam batin kita,
- konflik dengan orang, seperti misalkan ketika kita memilih partner usaha kita.
- Bisa juga terjadi antara batin dan alam, seperti pada contoh "4 November 2010, Merapi meletus dengan letusan terdahsyat dalam kurun waktu 100 tahun terakhir" yang sengaja dibuat untuk contoh kisah nyata sempurna pendek (nonfiksi) pada postingan yang akan datang, tetapi semua unsur lengkap ada disitu.
- Temukan konflik dalam kehidupan kita,
- lalu kembangkan dalam bentuk cerita berdasarkan fakta,
- sehingga pembaca dapat menuai manfaat dan hikmah pelajaran hidup di dalamnya,
- yang akan bermanfaat dalam menghadapi kehidupan nyata mereka sendiri.
Contoh Kisah Nyata (nonfiksi) tak Sempurna;
Hari ini, aku mendorong dan mengeluarkan sepeda motorku keluar dari lorong samping rumah mertua lebih pagi, untuk persiapan berangkat ke kantor.
Kemudian, aku terburu-buru mandi dan sarapan.
Istriku terheran-heran melihatku.
"Pagi banget, Mas?" tegur istriku masih terheran-heran.
"Ada beres-beres di kantor, khan baru pindahan," jawabku singkat.
Ketika aku tiba di kantor, para pegawai telah mulai bekerja mengatur barang-barang yang masih berserakan di dalam ruangan kantor.
Kegiatan beres-beres walaupun belum selesai hari ini, aku merasa bangga dan bersyukur karena untuk pertama kalinya usaha yang aku pimpin bisa menyewa kantor untuk tempat usaha.
Malam itu, aku membawakan oleh-oleh untuk istriku makanan kesukaannya.
Sesampai di rumah makanan kesukaan istriku kami santap dengan nikmat dan rasa puas.
Jelas, ada kejadian di dalam cerita di atas, itulah pengalaman penulis sepanjang hari ketika kantor usaha penulis baru pindah di kantor yang baru disewa. Tokohnya juga ada yaitu penulis sendiri, istri penulis, dan para pegawai.
Namun, di dalam cerita itu tidak ada konflik dalam bentuk apapun.
Elemen Kisah Nyata (nonfiksi)
Latar
Alur dalam suatu kisah tidaklah bisa terjadi di dalam suatu kehampaan. Haruslah ada waktu, dan ada pula tempat kejadian berlangsung. Dengan kata lain, bahwa alur itu mampunyai- 'latar waktu' dan
- 'latar tempat'.
- Ada pula latar-latar lainnya.
Sering kita membaca cerita yang
katanya terjadi di Jakarta, waktunya kira-kira masa kini, tapi kita temukan orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak bertindak tanduk seperti orang Jakarta. Suasananyapun tidak menggambarkan suasana kota Jakarta.
Cerita begini dapat dengan mudah diganti lokasinya dengan tempat lain, seperti di Kuala Lumpur, Madinah, atau yang lainnya. Dan, waktunyapun bisa diganti menjadi masa sebelum kemerdekaan Indonesia, atau zaman Reformasi tanpa banyak mengubah jalan cerita.
Ada yang salah dalam cerita tersebut. Latarnya tidak jelas atau tidak tajam.
Di samping kita harus menyajikan latar tempat dan waktu yang tajam, kita masih harus menyajikan latar-latar lain yang membenarkan dan memberi kesaksian bahwa memang disanalah kejadian itu. Tidak cukup dengan menyebut-nyebut 'Jakarta' saja lantas kisah itu 'terasa' seperti di Jakarta. Untuk itu kita butuh;
- latar sosial,
- latar budaya,
- latar ekonomi,
- latar politik yang sedang berlangsung
- dan latar-latar lainnya.
Ini semua harus jelas dan tajam, begitu tajamnya sampai-sampai cerita tersebut tidak bisa dipindah lokasinya dan waktunya.
Warna Lokal
Semua latar yang dibutuhkan dalam suatu Kisah, baik latar tempat, waktu, sosial, budaya dan sebagainya dapat dikatakan dengan satu istilah yaitu: warna lokal.Terkadang penulis memasukkan dialek setempat terutama di dalam percakapan atau dialog yang terjadi di antara tokoh-tokoh dalam Kisah. Tentu saja, karena ini cerita nyata maka,
- dialog yang penulis masukkan haruslah benar-benar terjadi atau
- mendekati yang penulis ingat berdasaran riset dan survey yang dilakukan sebelum penulisan kisah.
Dan, ini sangat mungkin terjadi kita mengalami suatu kejadian di Jawa misalnya maka terkadang ada dialog dalam bahasa Jawa. Semua ini dengan tujuan untuk mempertajam warna lokal, sehingga cerita tersebut tidak dapat dipindah begitu saja lokasinya dan waktunya.
Akan tetapi yang perlu dijaga adalah jangan sampai terlalu banyak bahasa setempat sehingga dialog tidak lagi dimengerti oleh pembaca. Kalaupun kenyataannya dalam dialog banyak menggunakan bahasa setempat, dapat kita sertakan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
***
Mau belajar menulis Kisah Nyata via daring (online), ikuti tahapannya, TAP /KETUK > di bawah ini:
Mau Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya, mudah, sedikit demi sedikit, dan saban hari, TAP /KETUK > di bawah ini:
Gabung dalam percakapan